Senin, 09 Juli 2007



LESBUMI: Kini, Lampau dan Datang


Chisaan Mansoer

SURAT KEPERCAYAAN
…..
Dengan ini jelaslah bahwa dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan "kata untuk kata, puisi untuk puisi". Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak "isme" apapun dalam kesenian – artinya "isme" dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.

Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian "politik adalah panglima". Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.

…..

Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur’an:
ﺿﺮﺑﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺬﻟﺔ ﺍﻳﻦ ﻣﺎ ﺛﻘﻔﻮﺁ إﻻ ﲝﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﷲ ﻭ ﺣﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ

"Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia". (Ali Imran, 112)

Gelanggang, No. 1, Th. 1, Desember 1966


Ada dua peristiwa penting di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang mendorong Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) (di)hadir(kan) kembali. Pertama adalah Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Jawa Timur (1999) diikuti dengan Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah (2004). Kedua adalah Musyawarah Besar (Mubes) Warga NU di Ciwaringin Jawa Barat (2004).

Baik Muktamar NU maupun Mubes Warga NU adalah forum yang sama-sama diselenggarakan dan dihadiri oleh warga NU seluruh Indonesia. Hanya saja bedanya, bila Muktamar NU diselenggarakan dan dihadiri oleh pengurus resmi NU yang sering dilekati dengan sebutan ‘NU struktural’, sedangkan Mubes Warga NU diselenggarakan dan dihadiri oleh warga NU bukan pengurus yang biasa dilekati dengan sebutan ‘NU kultural’. Meski keduanya berada dalam posisi dan sikap yang (seringkali) berbeda secara diametral, namun mereka mempunyai harapan dan cita-cita yang sama terhadap Lesbumi: hadirkan kembali!

Dilihat dari pentingnya kedua peristiwa itu, layak apabila kita mengajukan pertanyaan: apa yang mendasari keinginan warga NU untuk menghadirkan ulang Lesbumi di saat NU telah menegaskan ‘kembali ke Khittah 1926’ yang berarti melepaskan diri dari afiliasi politik dengan partai-partai yang ada di Indonesia (political equidistance)? Pertanyaan ini penting untuk diajukan sebab kehadiran awal Lesbumi tahun 1962 justru pada saat NU sedang giat-giatnya bergumul di arena politik praktis. Sekadar ber-nostalgia-kah?

Tulisan ini bermaksud menengok kembali perjalanan Lesbumi yang kini mulai membuka lembaran sejarah, membandingkannya dengan perkembangan Lesbumi ketika berafiliasi dengan partai politik NU, kemudian mencoba melakukan tatapan ke depan. Akan dikemukakan bahwa kehadiran kembali Lesbumi dalam konteks sejarah yang sama sekali berbeda dari masa awal kelahirannya memerlukan perhatian yang seksama.

Lesbumi Kini

Penegasan NU untuk menghadirkan kembali Lesbumi melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) tidak dimaksudkan untuk ber-nostalgia dengan masa lalu. Butir penting keinginan itu adalah mengajak seluruh anggota NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium beragama dan bersosial. Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.

Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.

Agama dewasa ini, demikian al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.

Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah, lanjut Al-Zastrow, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.

Dalam kesempatan lain, Mubes Warga NU (2004) pun mencatat adanya proses alienasi kesenian rakyat dari komunitasnya. Hal ini disebabkan oleh fenomena komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang diciptakan oleh pasar. Ditambahkan pula, tidak adanya lembaga yang serius menangani kesenian dan kebudayaan rakyat sehingga mereka selalu (di)kalah(kan) oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.

NU – dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi – sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para seniman dan budayawan tersebut.

Penegasan ini berarti menempatkan warga NU untuk bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus memperkaya bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.

Masa Lampau Lesbumi

Fenomena munculnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik tertentu dapat ditemukan dalam sejarah Indonesia kontemporer kurun waktu 1950-1960-an, khususnya pada masa "Demokrasi Terpimpin". Fenomena ini setidaknya menunjukkan adanya relasi yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik.

Di samping muncul sebagai fenomena adanya relasi antara seni budaya dan politik, berdirinya Lesbumi tahun 1962 merupakan muara dari berbagai kegiatan seni budaya yang sebelumnya telah dilakukan oleh kalangan nahdliyyin (baca: warga NU). Ditengarai bahwa di kalangan orang-orang Islam (termasuk didalamnya warga nahdliyyin) telah dilakukan kegiatan-kegiatan seni budaya yang sesuai dengan tradisi, kebiasaan dan ajaran-ajaran Islam, meskipun seringkali kegiatan-kegiatan seni budaya itu dilakukan tanpa kesadaran.

Tradisi pembacaan kitab Barzanji dan Burdah – dua karya sastra Islam yang mengekspresikan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai latar belakang penciptaan karyanya – telah melahirkan berbagai kreasi seni yang kaya. Kesenian tetabuhan seperti shalawatan, terbangan, genjring, rebana, kasidah, samrah dan yalilan adalah bentuk ekspresi rasa seni yang memadukan unsur rekreatif, estetika dan ritus keagamaan. Bentuk kesenian ini tumbuh subur, dihidupi dan dilestarikan di lingkungan masyarakat NU. Selain itu, kesenian gerak seperti stambulan, hadrah, radad, jipinan dan kubrosiswo juga merupakan kesenian populer di berbagai daerah basis NU.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa warga NU sebenarnya telah memiliki modal seni budaya yang telah berkembang dengan cukup baik. Pada tahap tertentu, kehadiran Lesbumi selain berfungsi melembagakan berbagai bentuk kesenian yang ada – dengan maksud menghidupi dan melestarikan – juga berfungsi sebagai pengembang (bukan pembaharu) kegiatan seni budaya di lingkungan nahdliyyin.

Penegasan fungsi Lesbumi ini nampaknya sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Saifuddin Zuhri pada saat meresmikan Lesbumi, 28 Maret 1962, bahwa Lesbumi bukanlah mengadakan kegiatan seni budaya yang baru, melainkan mengembangkan seni budaya yang telah ada dan dibawa sesuai dengan cita-cita Lesbumi. Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, bukan merupakan titik awal perjumpaannya dengan dunia seni budaya, melainkan upaya lebih lanjut untuk memperkaya ragam seni budaya yang sebelumnya telah (di)hidup(i) di lingkungan nahdliyyin.

Himbauan Saifuddin Zuhri di atas dapat dilihat, misalnya, melalui peresmian Lesbumi yang nampak sedikit unik. Kendati pemrakarsa berdirinya Lesbumi adalah tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani – seniman budayawan yang datang dari kalangan ‘modernis’, namun peresmian Lesbumi pada saat itu justru dimeriahkan dengan demonstrasi pencak silat dan orkes gambus al-Wathan, bukan pementasan drama, pemutaran film, pembacaan puisi atau kegiatan sastra lainnya yang barangkali ‘asing’ bagi warga nahdliyyin.

Adalah tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memprakarsai berdirinya Lesbumi di lingkungan NU. Ketokohan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani di bidang sinematografi tidak diragukan lagi. Berbagai terobosan telah dilakukan oleh ketiga tokoh ini di bidang sinematografi, mulai dari mendirikan industri film, mengikuti festival-festival film di luar negeri, menyelenggarakan festival film di dalam negeri dan meletakkan dasar kerjasama kebudayaan yang dapat mempertinggi mutu seni film Indonesia. Sementara itu, basis massa NU memiliki latar belakang seni budaya yang sering disebut ‘tradisional’.

Kontras seni budaya seperti ini bukan tanpa sadar untuk dilakukan. NU sangat menyadari bahwa seniman budayawan pemrakarsa Lesbumi memiliki latar belakang seni budaya yang dapat dikategorikan ‘modern’ dan sama sekali berbeda dari warga NU. Justru perbedaan inilah yang coba didayagunakan oleh warga NU sehingga – dalam entitas seni budaya masing-masing – keduanya dapat saling menyapa. Persentuhan NU dengan Lesbumi, dengan demikian, telah mendorong warga NU untuk berkecimpung di dunia seni ‘kontemporer’ seperti seni lukis, seni drama, sastra dan film.

Di samping upaya ‘pemodernan’ di bidang seni budaya yang coba dilakukan oleh seniman budayawan Lesbumi, persoalan utama yang nampaknya dihadapi oleh tokoh-tokoh Lesbumi, seperti Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani, ketika bergaul dengan komunitas seni nahdliyyin adalah bagaimana memadukan tradisi seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’, suatu pemaduan yang dalam pandangan Asrul Sani dinyatakan sebagai ‘keharusan baru’ bagi kehidupan seni budaya Indonesia.

Satu prestasi awal penting Lesbumi membawa nuansa ‘religius’ ke dalam dunia perfilman Indonesia adalah diproduksinya film bertema haji: "Panggilan Tanah Sutji" (1964). Pada saat film ini diputar di bioskop-bioskop, banyak warga NU dari kalangan pesantren yang mengapresiasi secara positif kecenderungan yang sama sekali baru ini. Menonton film di bioskop menjadi sesuatu yang biasa bahkan di kalangan santri dan kiai meski mereka menonton dengan mengenakan sarung dan peci. Bagi pengamat budaya waktu itu, peristiwa ini merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Sebab, warga NU yang diidentikkan dengan kaum tradisionalis mampu mengapresiasi produk seni budaya dari kalangan modernis.

Melalui perkenalan pertamanya dengan film "Panggilan Tanah Sutji" inilah, warga NU kemudian terbiasa mengapresiasi film-film lain garapan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memang berkualitas, baik dari segi penceritaan maupun garapan sinematografisnya meski tidak selalu bertema "islami".
Realitas ini meniscayakan Lesbumi memfungsikan diri sebagai taman budaya dan – meminjam istilah Denys Lombard – "laboratorium istimewa". Sebab, Lesbumi dapat menjadi tempat pendampingan dua sistem kesenian yang berbeda, menjadi tempat kontestasi seni budaya modern dan tradisional sekaligus. Fenomena ini menampakkan ketiadaan konfrontasi dalam arti yang sebenarnya antara tradisionalitas dan modernitas dan belum tentu akan diupayakan sintesis, sesuatu yang memang sangat sulit untuk dilakukan.

Warga NU pada saat itu memang membutuhkan seniman budayawan modernis yang dapat membangun toleransi budaya, penghargaan terhadap perbedaan dan demokratis sesuai dengan watak budaya Nusantara. Dan nampaknya, hasrat tersebut terpenuhi melalui performa ketiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang meskipun datang dari kalangan modernis namun mampu menghidupi tradisi (folklore) yang ada dan berkembang di lingkungan masyarakat NU.

Lesbumi: Tatapan ke Depan

Kembali ke Khittah NU 1926 memang bukan merupakan pekerjaan yang gampang dan tak kalah berharga dibanding aksi-aksi politik praktis (Falaakh, 1994). Kehadiran kembali Lesbumi, dengan demikian, tidak dimaksudkan sebagai upaya politisasi seni budaya, kendati pun sebagian orang beranggapan bahwa seni (budaya) dan politik tak bisa dipisahkan satu sama lain. Namun sebaliknya, kehadiran kembali Lesbumi justru dimaksudkan untuk mengiringi proses transformasi sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi yang sedang berlangsung dalam tubuh NU.

Untuk meneguhkan komitmennya di bidang kebudayaan itu NU berupaya mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka untuk membina manusia muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, dapat memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah ‘kontestasi’ seni budaya ketimbang sebuah ‘pertarungan politik’. Konteks sejarah ini yang membedakan wajah baru Lesbumi dengan masa awal kelahirannya pada dekade 1960-an. Sikap ‘tengah-tengah’ (moderat) tampaknya coba ditempuh oleh Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang menjadi landasan sosial-keagamaan NU, organisasi induknya.

Daftar Pustaka
Ahmad, Kholilul Rohman (ed) (2004), Menjawab Kegelisahan NU: Hasil-Hasil Musyawarah Warga Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon 8-10 Oktober 2004, Komite Penyelamat Khittah NU 1926, Yogyakarta.

Anam, Choirul (1985) Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surakarta: Jatayu.

Biran, Misbach Yusa (1988) Merenungkan Kembali Visi dan Langkah Besar Para Pelopor Perfilman dalam Mendorong Awal Perkembangan Industri Film Indonesia, naskah diterbitkan untuk acara diskusi film di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Panca Tunggal Perfilman, Jakarta.

Biran, Misbach Yusa (1990) Perkenalan Selintas Mengenai Perkembangan Film di Indonesia, Jakarta. Tulisan dibuat untuk penerbitan Asia University, Tokyo.
Biran, Misbach Yusa (1997), "Asrul dan Film" dalam Ajip Rosidi (penyunting), Asrul Sani 70 Tahun, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Duta Masjarakat, 29 Maret 1962.

Duta Masjarakat, 24 Maret 1964.

Dewan Kesenian Jakarta (2004), Pekan Asrul Sani, Dewan Kesenian Jakarta dan Sinematek Indonesia, Jakarta.

Falaakh, Mohammad Fajrul (1994), "Jam’iyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang" dalam Ellyasa KH. Darwis (editor), Gus Dur dan Masyarakat Sipil, LKIS, Yogyakarta.

Fealy, Greg (2003), Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967, Penerjemah: Farid Wajidi dkk, Yogyakarta: LKIS. Judul Asli: Ulama and Politics in Indonesia a History of Nahdlatul Ulama 1952-1967.

Hamim, Thoha, Pesantren dan Tradisi Mawlid. Kertas ilmiah disampaikan dalam acara Dies Natalis IAIN Sunan Ampel Surabaya ke 32.

Lombard, Denys (1996) Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian I: Batas-Batas Pembaratan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Judul Asli: Le Carrefour Javanais, Essai d’histoire globale, I. Le limited de l’occidentalisation.

Mansoer, Mohammad Tolchah (2006), Sajak-sajak Burdah Imam Muhammad Al-Bushiri, Adab Press UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Yayasan PP Sunni Darussalam, Yogyakarta.

Noer, Deliar (1990), Mohammad Hatta: Biografi Politik, LP3ES, Jakarta.

Sani, Asrul (1997), Surat-Surat Kepercayaan, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Teeuw, A. (1958) Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru, P.T. Pembangunan, Jakarta.

Teeuw, A. (1967), Modern Indonesian Literature I, Nijhoff, The Hague.
van Bruinessen, Martin (1994), NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian

Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS. Manuskrip yang diterjemahkan dari Traditionalist Muslims in a Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Fictional Conflict, and The Search for a New Discourse.

Wahid, Abdurrahman (1983), "Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk" dalam Edi Sedyawati (ed.), Seni dalam Masyarakat Indonesia, PT Gramedia, Jakarta.

Wa Mutiso, Kineene (2004), Al-Busiri and Muhammad Mshela: Two Great Sufi Poets, Swahili Forum II.

Yusuf, Slamet Effendy dkk (1983), Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak & Pergolakan Internal NU, CV. Rajawali, Jakarta.

Zuhri, Saifuddin (1987), Berangkat dari Pesantren, Gunung Agung, Jakarta.