Selasa, 23 September 2008

Psikologi Positif dan Eudaemonia

(Lukisan The New Living, 2008, karya Suitbertus Sarwoko)

Oleh Bagus Takwin, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

Bagaimana mencapai dan mempertahankan kebahagiaan? Inilah pertanyaan yang hendak dijawab psikologi positif; pertanyaan yang mengingatkan kita kepada ajaran trio filsuf Yunani Kuno, Sokrates, Plato dan Aristoteles: tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan, mencapai hidup yang baik, hidup yang sejahtera.

Memang, psikologi positif dengan Martin Seligman sebagai pentolannya mengambil inspirasi dari ketiga filsuf itu, terutama Aristoteles. Eudaemonia yang artinya kebahagiaan rasional atau hidup yang baik, itulah yang ingin diupayakan lapangan kajian psikologi ini. Bagi para penggagasnya, kini tugas utama psikologi adalah membantu manusia mengembangkan hidup yang baik, memandang dunia secara positif dan sejahtera di sana.

Mengubah Cara Pandang Psikologi


Psikologi sudah terlalu lama memusatkan perhatian terhadap bagaimana mengatasi gangguan kejiwaan dan gejala-gejala psikopatologis. Sekitar 90% kajian dalam psikologi didasari oleh model manusia yang sakit sebab orang-orang yang diteliti adalah mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Di sisi lain, sulit sekali mencari psikolog yang menguasai persoalan kekuatan karakter, kebahagiaan dan semacamnya. Persoalan bagaimana agar manusia bisa bahagia jadi masalah yang sulit dipecahkan.

Kecenderungan menggunakan model manusia yang sakit dalam kajian perilaku manusia memang menunjukkan hasil dan manfaat besar dalam menyelesaikan berbagai masalah kejiwaan. Namun, di sisi lain, ada biaya besar yang harus ditanggung, ada kerugian yang dihasilkan. Seligman (dalam Edge, 23 Maret 2004) mengidentifikasi tiga biaya besar yang harus ditanggung akibat kecenderungan mengkaji perilaku dengan pendekatan psikopatologis.
Biaya pertama adalah biaya moral. Para psikolog menjadi ahli korban dan tukang utak-atik perilaku patologis. Mereka cenderung memandang manusia sebagai makhluk yang selalu digenangi penyakit mental. Ide-ide seperti kemampuan memilih, kehendak bebas, preferensi, keberanian, spiritualitas, kebijaksanaan, keutamaan, keadilan, dan semacamnya cenderung dilupakan.

Biaya kedua, pendekatan yang melulu ditekankan kepada penyakit mental menjadikan para psikolog lupa tentang bagaimana menguapayakan kehidupan yang secara relatif bebas dari masalah, bermanfaat, lebih bahagia, lebih produktif, dan lebih penuh. Mereka juga lupa juga pada kelebihan-kelebihan manusia serta kejeniusan para penemu dalam sejarah.


Biaya ketiga, pemusatan terhadap gejala patologi membawa mereka kepada upaya-upaya menghilangkan penyebab gangguan, kembali ke belakang saat awal terjadinya penyimpangan atau keterhambatan. Akibatnya, mereka tak sempat memikirkan soal bagaimana membuat orang lebih bahagia. Kecenderungan yang ada adalah mengembangkan intervensi untuk mengurangi penderitaan orang.

Untuk mencegah membesarnya ketiga biaya itu, serta menghindari kerugian akibat pengabaian kualitas-kualitas positif manusia, sejak 1996 Martin Seligman mengembangkan satu pendekatan yang ia namakan Psikologi Positif. Jika psikologi dan psikiatri terdahulu berupaya mengurangi sebanyak mungkin muatan penderitaan di dunia, maka psikologi positif berikhtiar untuk menambah sebanyak mungkin muatan kebahagiaan di dunia.

Untuk itu, Seligman sebagai pelopor utama Psikologi Positif menggali pemikiran-pemikiran tentang kebahagiaan dari para filsuf dan tokoh-tokoh psikologi. Dalam filsafat, ia temukan Aristoteles, dengan konsep eudaemonia yang berarti ‘kehidupan yang baik’, well-being atau kebahagiaan. Istilah eudaemonia pernah juga dipakai oleh Thomas Jefferson dengan pengertian ‘pencapaian kebahagiaan’. Istilah ‘psikologi positif’ sendiri diambil dari Abraham Maslow dan Gordon W. Allport yang juga memimpikan psikologi yang mengkaji kualitas-kualitas positif manusia.

Eudaemonia menjadi konsep sentral dalam Psikologi Positif. Istilah ini merujuk kepada kebahagiaan yang dibedakan dari kenikmatan dalam pengertian Hedonisme. Kebahagiaan di sini bukan kebahagiaan yang dicapai dengan kenikmatan ragawi, bukan juga kebahagiaan yang ditandai oleh banyak senyum dan tawa terbahak-bahak. Jika pun eudaemonia mengandung kenikmatan di dalamnya maka itu merupakan hasil dari kontemplasi dan percakapan yang baik. Aristoteles mengartikan eudaemonia secara khusus sebagai kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas rasional. Murid Plato ini tidak merujuk kepada perasaan temporer atau emosi kasar, juga bukan gairah hormonal atau orgasmik, melainkan kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas memandang dan memahami hal yang baik.

Csikszentmihalyi (1990) dalam bukunya Flow mengkongkretkan eudaemonia sebagai keadaan yang diperoleh ketika orang mengalami percakapan yang baik, saat berkontemplasi secara mendalam. Ketika orang mengalami eudaemonia, waktu berhenti dan ia merasa sepenuhnya berada di tempat yang tepat. Di saat itu, orang menjadi satu irama, satu penghayatan dengan dunia. Ibarat mendengarkan musik yang baik, si pendengar dan musiknya menyatu, mengalir bersama. Hidup yang baik mengandung akar-akar yang mengarahkan kepada aliran itu; berisi pengetahuan pertama tentang kekuatan-kekuatan manusia, kemudian memperhalus kembali kehidupan kita untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Dengannya kita menata kembali dan memperbaiki kerja, percintaan, pertemanan, waktu luang, dan kepedulian; mengatur kembali diri dan benda-benda untuk mendapatkan hasil terbaik.

Keutamaan dan Kekuatan Manusia

Eudaemonia adalah kehidupan yang dapat dicapai melalui keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Aristoteles menyuratkan bahwa pemahaman terhadap diri sendiri merupakan syarat dari pencapaian kehidupan itu. Memahami diri sendiri berarti memahami keutamaan manusia. Seligman (2002) dalam bukunya Authentic Happiness memaparkan apa saja keutamaan dan kekuatan manusia, lalu di tahun 2004 bersama Peterson, ia perinci dalam buku setebal 800 halaman berjudul Character Strengths and Virtues; A Handbook and Classification. Ada enam kelompok keutamaan dan kekuatan manusia: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan; (2) kesatriaan (courage); (3) kemanusiaan dan cinta; (4) keadilan; (5) pengelolaaan diri (temperance); serta (6) transendensi.


Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri dari enam kekuatan, yaitu (1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (2) mencintai pembelajaran, (3) berpikir kritis dan keterbukaan, (4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, (5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan (6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan menyinergikannya untuk pencapaian hidup yang baik.

Kesatriaan merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu (1) keberanian, (2) ketabahan atau kegigihan, dan (3) integritas, jujur dan menampilkan diri apa adanya.

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatan-kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah (1) kebaikan dan kemurahan hati; selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan (2) mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai.

Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup dalam di sini: (1) kewarganegaraan atau mampu mengemban tugas, berdedikasi dan setia demi keberhasilan bersama, (2) fairness dan kesetaraan; memperlakukan orang lain secara setara atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan pada setiap orang; serta (3) kepemimpinan.

Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pengendalian-diri atau kemampuan menahan diri; (2) kehati-hatian; dan (3) kerendahan hati.

Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna pada kehidupan. Dalam keutamaan ini ada (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) rasa syukur atas segala hal baik; penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan; (3) spiritualitas; memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; (4) pemaaf dan pengampun; (5) menikmati hidup dan punya selera humor yang memadai; serta (6) memiliki semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari.

Keutamaan dan Kebahagiaan

Seligman dan Peterson (2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap keutamaan dan kekuatan itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai eudaemonia; setiap orang punya potensi untuk bahagia dan menjalani hidup yang baik. Tinggal bagaimana mengaktualisasinya.

Seligman (dalam Edge, 23 Maret 2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu (1) memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, (2) mengetahui kekuatan tertinggi, dan (3) menggunakannya untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal lebih besar dari diri sendiri. Jelas, tiga bentuk kebahagiaan ini erat kaitannya dengan keutamaan dan kekuatan manusia.

Tidak ada jalan potong untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan, tegas Seligman. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang bermakna dan berharga, mengenali diri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu memanfaatkan kekuatan-kekuatan kita untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika anda ingin bahagia, mulailah dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik; memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita.***

Tidak ada komentar: