Oleh Darmaningtyas
Salam dan Bahagia!
Pemerintah bersama DPR RI sekarang sedang mempersiapkan sebuah undang-undang baru yang akan mengatur tentang pendidikan, yang dikenal dengan RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan). RUU BHP ini disusun untuk memenuhi tuntutan di dalam Pasal 53 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20/2003, yang menyatakan:
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan,
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik,
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri
Dengan demikian, secara yuridis formal tujuan penyusunan RUU BHP adalah memenuhi ketentuan Pasal 53 UU Sisdiknas, khususnya ayat (4).
Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU Sisdiknas, maka RUU BHP dapat mengatur secara berbeda dengan UU Sisdiknas, dan perbedaan tersebut menjadi ketentuan yang khusus (lex specialis), yang harus didahulukan berlakunya dari ketentuan yang umum (lex generalis) sebagaimana termuat di dalam UU Sisdiknas. Dalam hal ini berlaku prinsip lex specialis derogat legi generalis (ketentuan yang khusus didahulukan berlakunya daripada hukum yang umum).
Adanya ketentuan bahwa BHP sebagai undang-undang yang lebih khusus daripada UU Sisdiknas, maka jelas bahwa UU BHP akan lebih banyak dipakai daripada UU Sisdiknas di dalam mengatur pendidikan. Bila ini yang terjadi, maka keberadaan UU Sisdiknas makin tidak punya taring dan tidak dapat menjadi dasar bagi masyarakat untuk menuntut hak-hak mereka akan pendidikan.
Tulisan di bawah ini mencoba memberikan gambaran singkat tentang isi dari RUU BHP versi terbaru tanggal 22 Agustus 2007 kepada pembaca Pusara dengan harapan pembaca dapat mengikuti perkembangan yang ada.
RUU BHP untuk Semua Jenjang
RUU BHP ini tidak hanya mengatur khusus untuk perguruan tinggi saja, seperti yang sering dikemukakan oleh pejabat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau DPR, tapi mengatur semua jenjang pendidikan dari pendididikan usia dini sampai perguruan tinnggi (PT). Hal itu tercantum dalam Pasal 1 ayat (1): “Badan hukum pendidikan yang selanjutnya disebut BHP adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal”. Ayat (5). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Berdasarkan kedua ayat di atas, jelas sekali bahwa RUU BHP ini mengatur semua jenjang pendidikan formal. Tidak ada satu kata pun dalam draft RUU BHP terbaru ini yang menyatakan bahwa RUU BHP ini hanya difokuskan untuk mengatur Pendidikan Tinggi saja.
RUU BHP ini juga tidak menjamin bahwa badan hukum seperti yayasan-yayasan, perkumpulan (termasuk Perguruan Tamansiswa), atau badan-badan lain yang mengelola lermbaga pendidikan selama ini tetap dijamin keberadaannya dan tidak harus berubah menjadi BHP. Tidak ada pasal yang mengatur masalah itu. Yang ada justru pasal 42 ayat (4) yang menyatakan: “Yayasan, perkumpulan, badan hukum bidang pendidikan yang bertindak sebagai nazhir, dan badan hukum lain yang sejenis penyelenggara pendidikan formal, yang telah didirikan sebelum UU ini berlaku diakui keberadaannya sebagai BHP, dan harus menyesuaikan tata kelolanya dengan ketentukan dalam UU ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak UU ini diundangkan”.
Di sini kita harus cermat terhadap permainan kata yang saya bold itu. Kata itu menjelaskan bahwa nama badan hukum tetap boleh memakai nama-nama yang dipakai sekarang, tapi seluruh tata kelolanya harus mengikuti tata kelola BHP. Kalau tata kelolalnya harus menyesuaikan tata kelola BHP, maka otomatis landasan dan konsekuensi hukumnya juga memakai UU BHP, bukan UU Yayasan. Sebab bagaimana mungkin konsekuensi hukum mengikuti UU BHP, tapi landasannya UU Yayasan?
Jadi bila RUU BHP ini disahkan menjadi UU BHP, maka boleh saja seluruh lembaga pendidikan di lingkungan Perguruan Tamansiswa memakai nama-nama yang ada selama ini, tapi seluruh tata kelolanya harus menyesuaikan diri dengan UU BHP paling lambat enam tahun setelah disahkan UU ini. Secara otomatis Perguruan Tamansiswa juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan UU BHP, bukan UU Yayasan.
Privatisasi dan Liberalisasi Pendidikan
RUU BHP, meskipun mengatur mengenai masalah pengelolaan pendidikan, tapi tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang peran pendidikan dalam pencerdasan bangsa, proses dan pengembangan budaya, pengembangan intelektual, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seluruh pasal hanya mengatur mengenai tata kelola BHP. Inilah yang disebut oleh Daoed Joesoef sebagai memperdagangkan pendidikan, karena substansi yang menonjol dari RUU BHP ini adalah privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Padahal, amanat Pembukaan UUD 1945 salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan bangsa. Jadi mestinya RUU BHP ini lebih banyak mengatur mengenai upaya-upaya pencerdasan bangsa. Tapi bila fokus RUU ini ke sana, maka bagaimana dengan keberadaan UU Sisdiknas sendiri? Apakah RUU BHP ini akan mengeliminir keberadaan UU Sisdiknas?
Upaya memprivatisasi dan meliberalisasi pendidikan jelas merupakan kesalahan terbesar dari pemimpin bangsa Indonesia. Sebab bila mengacu pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen, pendidikan itu merupakan hak warga yang harus dipenuhi oleh negara. Tapi sebaliknya RUU BHP ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan untuk mencari keuntungan material.
Bukti bahwa RUU BHP ini mengkomoditaskan pendidikan tercermin dari pasal 8 ayat 1 dan 2 yang memperbolehkan lembaga asing menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dengan penyertaan modal maksimal 49%. Ayat 1 berbunyi: “Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP Indonesia yang telah ada. Ayat (2). Pendirian BHP baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, lembaga pendidikan asing memiliki hak suara paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) di dalam organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP.
Sungguh menyedihkan bahwa pendidikan nasional yang menjadi basis penanaman karakter bangsa, justru diprivatisasi dan diliberalisasi sehinga bangsa-bangsa lain boleh secara leluasa menyelenggarakan sistem pendidikan di Indonesia. Boleh jadi Indonesia merupakan satu-satunya Negara di dunia yang penyelenggaraan pendidikannya paling liberal. Karena Amerika Serikat yang dikenal sangat liberal pun mereka sangat tertutup dalam penyelenggaraan pendidikan. Artinya, tidak mudah bagi bangsa asing untuk menyelenggarakan pendidikan di AS. Sebaliknya Indonesia justru melegitimasi privatisasi dan liberalisasi tersebut. Lalu karakter macam apa yang akan terbentuk melalui sistem pendidikan nasional, bila ternyata bangsa asing pun diperkenankan UU untuk turut membentuk karakter bangsa kita. Dalam istilah yang dibuat oleh Prof.Dr. Sofian Effendi, kalau ada sekolah asing yang kurikulumnya mengajarkan cara merakit bom pun pimpinan negara Indonesia tidak dapat melarangnya. Jadi RUU BHP ini mempunyai potensi menciptakan system pendidikan yang menimbulkan disintegrasi bangsa.
Secara yuridis, RUU BHP ini sangat lemah karena landasanya hanya UU Sisdiknas tahun 2003 saja, yang menurut sebagian masyarakat melanggar Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara maupun UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidak disebut sama sekali (satu pun), baik dalam naskah akademik maupun dalam batang tubuh RUU BHP ini. Padalah Pancasila jelas menjadi sumber dari segala sumber hukum, dan UUD 1945 harus menjadi konstitusi negara. Ini merupakan kelemahan mendasar dari RUU BHP, sehingga bila disahkan menjadi UU, maka otomatis RUU BHP ini melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Bagaimana Menyikapi RUU BHP?
Sebagai orang yang mengikuti secara intens perkembangan RUU BHP ini sejak awal, saya dapat mengatakan bahwa filosofi dari RUU BHP ini sangat kapitalistik dan diliberal. Dan sekaligus juga menciptakan ketergantungan pada bangsa asing yang membawa kapital. Ini jelas berlawanan dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelstanding), tidak bergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).
Juga berlawanan dengan semangat Tamansiswa sebagai perjuangan pergerakan pendidikan dan kebudayaan yang dalam asasnya menyatakan bahwa: meluasnya pendidikan dan pengajaran adalah lebih perlu daripada meningkatnya.
Tamansiswa juga merumuskan bahwa Pendidikan Nasional ialah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia.
Berdasarkan rumusan yang ada pada RUU BHP maupun naskah akademiknya, serta berpijak pada ajaran Ki Hadjar Dewantara, maka mestinya sikap orang-orang Tamansiswa sudah jelas: harus menolah RUU BHP. Sebab tidak ada alasan yang membenarkan untuk menerima RUU BHP, sebaliknya sangat banyak alasan untuk menolak RUU BHP. Saya berharap keberadaan RUU BHP ini menjadi momentum kebangkitan kembali Taman Siswa dalam perjuangan pergerakan pendidikan dan kebudayaan.
Kita tidak perlu takut pada kekuatan Negara bila menolak RUU BHP ini secara terbuka. Ingat pesan Ki Hadjar Dewantara dalam Pidato pada rapat umum Tamansiswa di Malang, 2 Februari 1930 yang menyatakan: Ngandel, kandel, kendel, dan bandel. Artinya: percaya akan memberikan pendirian yang tegak. Maka kemudiannya kendel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri. Kalau Ki Hadjar Dewantara melawan orang asing saja berani, mengapa kita melawan bangsa sendiri yang nyata-nyata salah justru tidak berani?
Darmaningtyas, pengamat pendidikan dan anggota Majelis Luhur Tamansiswa.
Departemen Pendidikan Nasional, Naskah Akademik RUU BHP, hal. 36-37
Departemen Pendidikan Nasional, draft RUU BHP edisi 22 Agustus 2007
Kompas, 29 Agustus 2007
KH. Dewantara, Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, hal. 3-4
Ibid, hal. 216
Ibid, hal.15
1 komentar:
RUU BHP terkesan prematur dan tanpa hati nurani, harga diri, dan jati diri bangsa. Kenapa harus diundangkan? Perlu keterlibatan banyak pihak untuk ikut memikirkan dan merumuskannya, bukan hanya produk Pemerintah dan DPR saja. Tamansiswa sudah bersikap. Bagaimana kita?
Posting Komentar