A Elwiq Pr, bekas murid Tamansiswa Turen
Penemuan demi penemuan kujumpai dalam tiap-tiap hariku. Bukan hal-hal besar, hanya sederhana dan kecil-kecil saja meski justru bermakna dalam dan tak terandaikan. Menjelajahi beberapa tempat di negeriku yang sebegini tak terkira indah dan luasnya telah kulakoni tanpa banyak bicara, atau mengimpikannya. Bahkan sekedar mengangankannyapun tidak. Ini kurintis jauh sebelum media massa menggembar-gemborkan petualangan-petualangan perjalanan dalam durasi informasi setengah jam-an dipotong iklan. Titian hidupku telah dan terus melampaui segala rupa yang seakan serba cepat manakala kulakoni dengan akalbudi terjaga serta menjaga yang tertera di garis tangan. Aku sadari, ada masa kita tak sepatutnya mempertanyakannya mengapa, selain menyadari sepenuhnya bahwa nantinya segala yang kita jalani akan bercerita dengan sendirinya. Batinpun telah pula menyimpan pesan-pesan bernas. Aku dalam hal ini, menjalaninya dengan kuharap baik pun tulus tatkala mengikhlasinya sebagai keputusan Ilahi yang kuanggap paling tepat meski (mungkin) tidak bisa dibenarkan semua orang.
Pergi ke luar negeri? Itu soal lain lagi. Kini, aku justru merenungkannya sebelum melakoninya. Apa tujuan orang pergi ke luar negeri?
Timor Lorosae kinipun luar negeri bukan? Apa yang disebut luar negeri itu? Berbondong-bondong di blog-blog manusia hari ini menunjukkan perjalanan masing-masing ke luar negeri itu. Bahkan koran yang terbit di Surabaya dan oplahnya sudah melampaui pembaca tingkat Nasional itu pun tak absen mengamini kecenderungan serba luar negeri dengan mengabarkan betapa seorang pemudi negeri ini telah pergi ke luar negeri dengan segala jasa dan prestasi, entah untuk diri sendiri atau demi bangsa ini. Istilah bombastisnya keliling dunia.
Mbakyu sayapun tak urung terkena imbas di mana anaknya yang kini sekolah dan terjaring dalam sistem pendidikan SBI –Sekolah Berbasis Internasional—menyatakan keoptimisannya bahwa suatu saat anaknyapun akan ke luar negeri bila bisa terseleksi dalam pertukaran pelajar atau semacam itu, sebab sekolah SMP anaknya itu telah bekerja sama dengan Monash University, Australia dan seterusnya. Bekerjasama atau didikte sistem pendidikan luar negeri? Nyata bahwa kita sudah didominasi. Kudengarkan saja dalam kemirisan yang tak bisa kututupi. Aku merasa tidak enak, mungkin ini yang diprihatinkan kaum pendahulu yang menyalamiku dengan bening mata berkaca-kaca tak bisa kulukiskan dengan kata-kata, salah satunya adalah Pak Kuntowijoyo almarhum. Bahwa kita sedang dalam masa menyambut generasi yang hilang, ulas beliau dalam kata-kata tertatih-tatih tak jernih. Dan kini aku bukan hanya dibuat mengerti, selain menangisi apa yang beliau maksudkan. Kian mengerang pedih ketika kenyataan dibeberkan pula dengan empati tinggi oleh Pak Ayip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah” tentang kemudaratan petinggi negeri ini menyangkut kebudayaan dan pendidikan dalam satu keping dinarus menggelinding tersesat dalam labirin tak berujung.
Generasiku parah sekali, sedikit yang memiliki kepercayaan diri berkomunikasi dengan bahasa Ibu, sedang satu generasi di bawahku semakin payah. Tak lagi memiliki kosakata yang cukup untuk berbicara dengan bahasa Ibu, bahasa daerah dalam hal ini. Apa yang bisa kita jadikan oleh-oleh ke luar negeri bersangkut-paut dengan negeri ini. Apa yang bisa mereka banggakan dari negeri bernama Indonesia ini? Ketika menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negeri inipun tak lagi bisa diucapkan dengan rasa tanggungjawab selain mengacaukannya dengan bahasa “gaul” dan tak mau tahu atau bahkan tak peduli mana itu yang benar, baik dan indah. Ini saya bicara belum sampai pada bagaimana dengan bahasa tulis. Bagaimana manusia hari ini yang begini mampu memanfaatkan dengan beradab bahasa asing misalnya bahasa Inggris yang meruyak di mana-mana itu? Ketika tatabahasa sendiri tak sanggup direngkuh dan diwarisi. Tidakkah kita prihatin, pergi ke luar negeri dengan berbekal bahasa Inggris minus pemahaman budaya adalah cukup? Betapa serba tak siap saja kita ini sejatinya. Dengan semacam ini tidakkah kita hanya menunjukkan pribadi yang pantas diremehkan? Betapa hanya mudah terbawa arus saja bila kita berbicara tentang segala rupa yang menginternasional. Kita tak bisa lagi mengenali diri sendiri, tak tahu di mana akar tubuh ini bertumbuh.
Aku tercenung. Aku berdiri, bernafas dan berpikir dengan akalbudi yang mudah-mudahan masih bisa disebut sehat wa’alfiat di sebuah desa yang tak kalah kemaruknya berbicara tentang segala rupa yang berbau luar negeri. Desaku tak kalah genit, telah dibuka pula kelas-kelas les Bahasa Jepang. Bagus tentu saja. Tapi adakah yang membuka kelas les Bahasa Jawa? Sedang aku tahu, kian ke sini generasi muda kian tak mengenali bahasa Ibunya atau sedikitnya bahasa neneknya. Bukan soal Jawanya tentu saja. Aku penikmat degung Sunda, aku menghargai calung Patikraja, aku histeris ketika mendengarkan Saluang Minang berikut kisah yang menyertainya meski tak kumengerti benar. Aku merasa beruntung sebab aku masih sempat menikmatinya. Aku tahu, di kepulauan Kei di Maluku tenggara sana, pun sejatinya memiliki bahasa Ibu yang luarbiasa mengagumkan. Sedang berapa gelintir manusia Kei yang kini menguasainya? Menyedihkan. Apa yang kurasai sekarang lebih menyakitkan dari beberapa dakade lalu ketika orang merasa semua yang serba luar negeri adalah lebih bagus. Keliru, kita telah keliru mengartikan siapa diri kita sebenarnya.
Sebagai manusia hari ini, sejatinya kita di muka bumi ini telah gagal melestarikan warisan budaya masa lalu, sedikit sekali dari kita yang menyadari itu dan kita tak tahu bahwa apa yang terjadi saat ini adalah makna menuju kiamat-batin.
Suara samar kudengar dari luar sana: “Kamu silau!”
Mungkin benar tapi tidak bisa kusepakati sebagai kemutlakan ketika aku justru sedang merasa “pulang”, pulang untuk membuat loncatan lebih tinggi dari yang pernah kulakukan. Bahwa aku sebagai manusia silau ini atas segala rupa yang berbau luar negeri mulai memikirkan bahwa kata silau itu adalah tuduhan, lantaran saat suara itu ditujukan padaku, aku justru tak mau lagi mengejar-kejar beasiswa sekolah ke luar negeri, sebab sekarangpun apa yang disebut-sebut dengan beasiswa sekolah ke luar negeri tidak kalah busuk dengan apa yang ditawarkan di negeri ini bila keliru menafsir dan menjatuhkan pilihan. Pun nilai pergi ke luar negeri bagiku kini sudah mengkristal dalam diriku, yang kelak amanat pergi ke luar negeri kusertai dengan akalbudi yang penuh terisi sebagai aku yang bagian dari desaku, kampungku, bangsaku.
Demi menganyami lubang-lubang di tikar kehidupan desaku. Aku tak ingin menambal tikar dengan jadah. Sebagaimana sulaman benang, anyaman tikar masih bisa ditambal bukan dengan jadah seperti yang tersemat dalam tembang “Lir-Ilir”, tapi bisalah kita tambal sulami dengan pandan bila tikar itu dari daun pandan, atau dengan mendong bila tikar itu terbuat dari sejenis alang-alang berbahan ulet itu. Mampukah aku? Aku tak tahu, tak semudah dalam bayangan di kepalaku tapi sekaligus kuupayakan di hari-hari ini untuk terus berpikir positif dan optimis, bahwa setidaknya bahasa Jawa masih kubaca dalam majalah yang setiap hari Minggu menggeletak di depan pintu rumah. Ke Yogyakarta awal bulan inipun menjadi penanda bagiku bahwa aku tidak keliru jalan sebab jalan takdirku telah pula terajut dalam tempuhanku berjumpa, kemudian bersinergi dengan enersi apa dan siapa saja yang tak pelak berjejalin di masa lalu, sekarang dan niscaya masa depan tak putus-putus. Saling menabahkan.
Bahwa ada yang sederhana, yang baik, bukan sekedar gagah-gagahan masih bisa kita sertakan dalam jiwa yang muda dan tangguh manakala mendapatkan amanah pergi ke luar negeri. Jadi berbekal apa kita pergi? Sebab pergi pada hakekatnya adalah perjalanan batin menuju pulang. Selagi kita tak abai akan hal itu, kita akan tahu ke mana arah tuju kita dalam hidup, bahkan (apalagi) sekadar pergi ke luar negeri. Sugeng tindak.
Bon voyages. Selamat jalan, untuk pulang dengan selamat …
Turen, Juli 2008
Penemuan demi penemuan kujumpai dalam tiap-tiap hariku. Bukan hal-hal besar, hanya sederhana dan kecil-kecil saja meski justru bermakna dalam dan tak terandaikan. Menjelajahi beberapa tempat di negeriku yang sebegini tak terkira indah dan luasnya telah kulakoni tanpa banyak bicara, atau mengimpikannya. Bahkan sekedar mengangankannyapun tidak. Ini kurintis jauh sebelum media massa menggembar-gemborkan petualangan-petualangan perjalanan dalam durasi informasi setengah jam-an dipotong iklan. Titian hidupku telah dan terus melampaui segala rupa yang seakan serba cepat manakala kulakoni dengan akalbudi terjaga serta menjaga yang tertera di garis tangan. Aku sadari, ada masa kita tak sepatutnya mempertanyakannya mengapa, selain menyadari sepenuhnya bahwa nantinya segala yang kita jalani akan bercerita dengan sendirinya. Batinpun telah pula menyimpan pesan-pesan bernas. Aku dalam hal ini, menjalaninya dengan kuharap baik pun tulus tatkala mengikhlasinya sebagai keputusan Ilahi yang kuanggap paling tepat meski (mungkin) tidak bisa dibenarkan semua orang.
Pergi ke luar negeri? Itu soal lain lagi. Kini, aku justru merenungkannya sebelum melakoninya. Apa tujuan orang pergi ke luar negeri?
Timor Lorosae kinipun luar negeri bukan? Apa yang disebut luar negeri itu? Berbondong-bondong di blog-blog manusia hari ini menunjukkan perjalanan masing-masing ke luar negeri itu. Bahkan koran yang terbit di Surabaya dan oplahnya sudah melampaui pembaca tingkat Nasional itu pun tak absen mengamini kecenderungan serba luar negeri dengan mengabarkan betapa seorang pemudi negeri ini telah pergi ke luar negeri dengan segala jasa dan prestasi, entah untuk diri sendiri atau demi bangsa ini. Istilah bombastisnya keliling dunia.
Mbakyu sayapun tak urung terkena imbas di mana anaknya yang kini sekolah dan terjaring dalam sistem pendidikan SBI –Sekolah Berbasis Internasional—menyatakan keoptimisannya bahwa suatu saat anaknyapun akan ke luar negeri bila bisa terseleksi dalam pertukaran pelajar atau semacam itu, sebab sekolah SMP anaknya itu telah bekerja sama dengan Monash University, Australia dan seterusnya. Bekerjasama atau didikte sistem pendidikan luar negeri? Nyata bahwa kita sudah didominasi. Kudengarkan saja dalam kemirisan yang tak bisa kututupi. Aku merasa tidak enak, mungkin ini yang diprihatinkan kaum pendahulu yang menyalamiku dengan bening mata berkaca-kaca tak bisa kulukiskan dengan kata-kata, salah satunya adalah Pak Kuntowijoyo almarhum. Bahwa kita sedang dalam masa menyambut generasi yang hilang, ulas beliau dalam kata-kata tertatih-tatih tak jernih. Dan kini aku bukan hanya dibuat mengerti, selain menangisi apa yang beliau maksudkan. Kian mengerang pedih ketika kenyataan dibeberkan pula dengan empati tinggi oleh Pak Ayip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah” tentang kemudaratan petinggi negeri ini menyangkut kebudayaan dan pendidikan dalam satu keping dinarus menggelinding tersesat dalam labirin tak berujung.
Generasiku parah sekali, sedikit yang memiliki kepercayaan diri berkomunikasi dengan bahasa Ibu, sedang satu generasi di bawahku semakin payah. Tak lagi memiliki kosakata yang cukup untuk berbicara dengan bahasa Ibu, bahasa daerah dalam hal ini. Apa yang bisa kita jadikan oleh-oleh ke luar negeri bersangkut-paut dengan negeri ini. Apa yang bisa mereka banggakan dari negeri bernama Indonesia ini? Ketika menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negeri inipun tak lagi bisa diucapkan dengan rasa tanggungjawab selain mengacaukannya dengan bahasa “gaul” dan tak mau tahu atau bahkan tak peduli mana itu yang benar, baik dan indah. Ini saya bicara belum sampai pada bagaimana dengan bahasa tulis. Bagaimana manusia hari ini yang begini mampu memanfaatkan dengan beradab bahasa asing misalnya bahasa Inggris yang meruyak di mana-mana itu? Ketika tatabahasa sendiri tak sanggup direngkuh dan diwarisi. Tidakkah kita prihatin, pergi ke luar negeri dengan berbekal bahasa Inggris minus pemahaman budaya adalah cukup? Betapa serba tak siap saja kita ini sejatinya. Dengan semacam ini tidakkah kita hanya menunjukkan pribadi yang pantas diremehkan? Betapa hanya mudah terbawa arus saja bila kita berbicara tentang segala rupa yang menginternasional. Kita tak bisa lagi mengenali diri sendiri, tak tahu di mana akar tubuh ini bertumbuh.
Aku tercenung. Aku berdiri, bernafas dan berpikir dengan akalbudi yang mudah-mudahan masih bisa disebut sehat wa’alfiat di sebuah desa yang tak kalah kemaruknya berbicara tentang segala rupa yang berbau luar negeri. Desaku tak kalah genit, telah dibuka pula kelas-kelas les Bahasa Jepang. Bagus tentu saja. Tapi adakah yang membuka kelas les Bahasa Jawa? Sedang aku tahu, kian ke sini generasi muda kian tak mengenali bahasa Ibunya atau sedikitnya bahasa neneknya. Bukan soal Jawanya tentu saja. Aku penikmat degung Sunda, aku menghargai calung Patikraja, aku histeris ketika mendengarkan Saluang Minang berikut kisah yang menyertainya meski tak kumengerti benar. Aku merasa beruntung sebab aku masih sempat menikmatinya. Aku tahu, di kepulauan Kei di Maluku tenggara sana, pun sejatinya memiliki bahasa Ibu yang luarbiasa mengagumkan. Sedang berapa gelintir manusia Kei yang kini menguasainya? Menyedihkan. Apa yang kurasai sekarang lebih menyakitkan dari beberapa dakade lalu ketika orang merasa semua yang serba luar negeri adalah lebih bagus. Keliru, kita telah keliru mengartikan siapa diri kita sebenarnya.
Sebagai manusia hari ini, sejatinya kita di muka bumi ini telah gagal melestarikan warisan budaya masa lalu, sedikit sekali dari kita yang menyadari itu dan kita tak tahu bahwa apa yang terjadi saat ini adalah makna menuju kiamat-batin.
Suara samar kudengar dari luar sana: “Kamu silau!”
Mungkin benar tapi tidak bisa kusepakati sebagai kemutlakan ketika aku justru sedang merasa “pulang”, pulang untuk membuat loncatan lebih tinggi dari yang pernah kulakukan. Bahwa aku sebagai manusia silau ini atas segala rupa yang berbau luar negeri mulai memikirkan bahwa kata silau itu adalah tuduhan, lantaran saat suara itu ditujukan padaku, aku justru tak mau lagi mengejar-kejar beasiswa sekolah ke luar negeri, sebab sekarangpun apa yang disebut-sebut dengan beasiswa sekolah ke luar negeri tidak kalah busuk dengan apa yang ditawarkan di negeri ini bila keliru menafsir dan menjatuhkan pilihan. Pun nilai pergi ke luar negeri bagiku kini sudah mengkristal dalam diriku, yang kelak amanat pergi ke luar negeri kusertai dengan akalbudi yang penuh terisi sebagai aku yang bagian dari desaku, kampungku, bangsaku.
Demi menganyami lubang-lubang di tikar kehidupan desaku. Aku tak ingin menambal tikar dengan jadah. Sebagaimana sulaman benang, anyaman tikar masih bisa ditambal bukan dengan jadah seperti yang tersemat dalam tembang “Lir-Ilir”, tapi bisalah kita tambal sulami dengan pandan bila tikar itu dari daun pandan, atau dengan mendong bila tikar itu terbuat dari sejenis alang-alang berbahan ulet itu. Mampukah aku? Aku tak tahu, tak semudah dalam bayangan di kepalaku tapi sekaligus kuupayakan di hari-hari ini untuk terus berpikir positif dan optimis, bahwa setidaknya bahasa Jawa masih kubaca dalam majalah yang setiap hari Minggu menggeletak di depan pintu rumah. Ke Yogyakarta awal bulan inipun menjadi penanda bagiku bahwa aku tidak keliru jalan sebab jalan takdirku telah pula terajut dalam tempuhanku berjumpa, kemudian bersinergi dengan enersi apa dan siapa saja yang tak pelak berjejalin di masa lalu, sekarang dan niscaya masa depan tak putus-putus. Saling menabahkan.
Bahwa ada yang sederhana, yang baik, bukan sekedar gagah-gagahan masih bisa kita sertakan dalam jiwa yang muda dan tangguh manakala mendapatkan amanah pergi ke luar negeri. Jadi berbekal apa kita pergi? Sebab pergi pada hakekatnya adalah perjalanan batin menuju pulang. Selagi kita tak abai akan hal itu, kita akan tahu ke mana arah tuju kita dalam hidup, bahkan (apalagi) sekadar pergi ke luar negeri. Sugeng tindak.
Bon voyages. Selamat jalan, untuk pulang dengan selamat …
Turen, Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar