Selasa, 23 September 2008

Psikologi Positif dan Eudaemonia

(Lukisan The New Living, 2008, karya Suitbertus Sarwoko)

Oleh Bagus Takwin, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

Bagaimana mencapai dan mempertahankan kebahagiaan? Inilah pertanyaan yang hendak dijawab psikologi positif; pertanyaan yang mengingatkan kita kepada ajaran trio filsuf Yunani Kuno, Sokrates, Plato dan Aristoteles: tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan, mencapai hidup yang baik, hidup yang sejahtera.

Memang, psikologi positif dengan Martin Seligman sebagai pentolannya mengambil inspirasi dari ketiga filsuf itu, terutama Aristoteles. Eudaemonia yang artinya kebahagiaan rasional atau hidup yang baik, itulah yang ingin diupayakan lapangan kajian psikologi ini. Bagi para penggagasnya, kini tugas utama psikologi adalah membantu manusia mengembangkan hidup yang baik, memandang dunia secara positif dan sejahtera di sana.

Mengubah Cara Pandang Psikologi


Psikologi sudah terlalu lama memusatkan perhatian terhadap bagaimana mengatasi gangguan kejiwaan dan gejala-gejala psikopatologis. Sekitar 90% kajian dalam psikologi didasari oleh model manusia yang sakit sebab orang-orang yang diteliti adalah mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Di sisi lain, sulit sekali mencari psikolog yang menguasai persoalan kekuatan karakter, kebahagiaan dan semacamnya. Persoalan bagaimana agar manusia bisa bahagia jadi masalah yang sulit dipecahkan.

Kecenderungan menggunakan model manusia yang sakit dalam kajian perilaku manusia memang menunjukkan hasil dan manfaat besar dalam menyelesaikan berbagai masalah kejiwaan. Namun, di sisi lain, ada biaya besar yang harus ditanggung, ada kerugian yang dihasilkan. Seligman (dalam Edge, 23 Maret 2004) mengidentifikasi tiga biaya besar yang harus ditanggung akibat kecenderungan mengkaji perilaku dengan pendekatan psikopatologis.
Biaya pertama adalah biaya moral. Para psikolog menjadi ahli korban dan tukang utak-atik perilaku patologis. Mereka cenderung memandang manusia sebagai makhluk yang selalu digenangi penyakit mental. Ide-ide seperti kemampuan memilih, kehendak bebas, preferensi, keberanian, spiritualitas, kebijaksanaan, keutamaan, keadilan, dan semacamnya cenderung dilupakan.

Biaya kedua, pendekatan yang melulu ditekankan kepada penyakit mental menjadikan para psikolog lupa tentang bagaimana menguapayakan kehidupan yang secara relatif bebas dari masalah, bermanfaat, lebih bahagia, lebih produktif, dan lebih penuh. Mereka juga lupa juga pada kelebihan-kelebihan manusia serta kejeniusan para penemu dalam sejarah.


Biaya ketiga, pemusatan terhadap gejala patologi membawa mereka kepada upaya-upaya menghilangkan penyebab gangguan, kembali ke belakang saat awal terjadinya penyimpangan atau keterhambatan. Akibatnya, mereka tak sempat memikirkan soal bagaimana membuat orang lebih bahagia. Kecenderungan yang ada adalah mengembangkan intervensi untuk mengurangi penderitaan orang.

Untuk mencegah membesarnya ketiga biaya itu, serta menghindari kerugian akibat pengabaian kualitas-kualitas positif manusia, sejak 1996 Martin Seligman mengembangkan satu pendekatan yang ia namakan Psikologi Positif. Jika psikologi dan psikiatri terdahulu berupaya mengurangi sebanyak mungkin muatan penderitaan di dunia, maka psikologi positif berikhtiar untuk menambah sebanyak mungkin muatan kebahagiaan di dunia.

Untuk itu, Seligman sebagai pelopor utama Psikologi Positif menggali pemikiran-pemikiran tentang kebahagiaan dari para filsuf dan tokoh-tokoh psikologi. Dalam filsafat, ia temukan Aristoteles, dengan konsep eudaemonia yang berarti ‘kehidupan yang baik’, well-being atau kebahagiaan. Istilah eudaemonia pernah juga dipakai oleh Thomas Jefferson dengan pengertian ‘pencapaian kebahagiaan’. Istilah ‘psikologi positif’ sendiri diambil dari Abraham Maslow dan Gordon W. Allport yang juga memimpikan psikologi yang mengkaji kualitas-kualitas positif manusia.

Eudaemonia menjadi konsep sentral dalam Psikologi Positif. Istilah ini merujuk kepada kebahagiaan yang dibedakan dari kenikmatan dalam pengertian Hedonisme. Kebahagiaan di sini bukan kebahagiaan yang dicapai dengan kenikmatan ragawi, bukan juga kebahagiaan yang ditandai oleh banyak senyum dan tawa terbahak-bahak. Jika pun eudaemonia mengandung kenikmatan di dalamnya maka itu merupakan hasil dari kontemplasi dan percakapan yang baik. Aristoteles mengartikan eudaemonia secara khusus sebagai kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas rasional. Murid Plato ini tidak merujuk kepada perasaan temporer atau emosi kasar, juga bukan gairah hormonal atau orgasmik, melainkan kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas memandang dan memahami hal yang baik.

Csikszentmihalyi (1990) dalam bukunya Flow mengkongkretkan eudaemonia sebagai keadaan yang diperoleh ketika orang mengalami percakapan yang baik, saat berkontemplasi secara mendalam. Ketika orang mengalami eudaemonia, waktu berhenti dan ia merasa sepenuhnya berada di tempat yang tepat. Di saat itu, orang menjadi satu irama, satu penghayatan dengan dunia. Ibarat mendengarkan musik yang baik, si pendengar dan musiknya menyatu, mengalir bersama. Hidup yang baik mengandung akar-akar yang mengarahkan kepada aliran itu; berisi pengetahuan pertama tentang kekuatan-kekuatan manusia, kemudian memperhalus kembali kehidupan kita untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Dengannya kita menata kembali dan memperbaiki kerja, percintaan, pertemanan, waktu luang, dan kepedulian; mengatur kembali diri dan benda-benda untuk mendapatkan hasil terbaik.

Keutamaan dan Kekuatan Manusia

Eudaemonia adalah kehidupan yang dapat dicapai melalui keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Aristoteles menyuratkan bahwa pemahaman terhadap diri sendiri merupakan syarat dari pencapaian kehidupan itu. Memahami diri sendiri berarti memahami keutamaan manusia. Seligman (2002) dalam bukunya Authentic Happiness memaparkan apa saja keutamaan dan kekuatan manusia, lalu di tahun 2004 bersama Peterson, ia perinci dalam buku setebal 800 halaman berjudul Character Strengths and Virtues; A Handbook and Classification. Ada enam kelompok keutamaan dan kekuatan manusia: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan; (2) kesatriaan (courage); (3) kemanusiaan dan cinta; (4) keadilan; (5) pengelolaaan diri (temperance); serta (6) transendensi.


Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri dari enam kekuatan, yaitu (1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (2) mencintai pembelajaran, (3) berpikir kritis dan keterbukaan, (4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, (5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan (6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan menyinergikannya untuk pencapaian hidup yang baik.

Kesatriaan merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu (1) keberanian, (2) ketabahan atau kegigihan, dan (3) integritas, jujur dan menampilkan diri apa adanya.

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatan-kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah (1) kebaikan dan kemurahan hati; selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan (2) mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai.

Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup dalam di sini: (1) kewarganegaraan atau mampu mengemban tugas, berdedikasi dan setia demi keberhasilan bersama, (2) fairness dan kesetaraan; memperlakukan orang lain secara setara atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan pada setiap orang; serta (3) kepemimpinan.

Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pengendalian-diri atau kemampuan menahan diri; (2) kehati-hatian; dan (3) kerendahan hati.

Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna pada kehidupan. Dalam keutamaan ini ada (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) rasa syukur atas segala hal baik; penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan; (3) spiritualitas; memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; (4) pemaaf dan pengampun; (5) menikmati hidup dan punya selera humor yang memadai; serta (6) memiliki semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari.

Keutamaan dan Kebahagiaan

Seligman dan Peterson (2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap keutamaan dan kekuatan itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai eudaemonia; setiap orang punya potensi untuk bahagia dan menjalani hidup yang baik. Tinggal bagaimana mengaktualisasinya.

Seligman (dalam Edge, 23 Maret 2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu (1) memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, (2) mengetahui kekuatan tertinggi, dan (3) menggunakannya untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal lebih besar dari diri sendiri. Jelas, tiga bentuk kebahagiaan ini erat kaitannya dengan keutamaan dan kekuatan manusia.

Tidak ada jalan potong untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan, tegas Seligman. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang bermakna dan berharga, mengenali diri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu memanfaatkan kekuatan-kekuatan kita untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika anda ingin bahagia, mulailah dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik; memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita.***

Jumat, 05 September 2008

Konstruktivisme

(Keterangan foto: Lukisan karya Ugy Sugiarto, pelukis otodidak asal Wonosobo, Jawa Tengah)

Konstruktivisme dalam Pemikiran
Ki Hadjar Dewantara


Oleh Bagus Takwin

Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, saya teringat pada pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).

Kesamaan ini saya kira bukan suatu kebetulan. Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no. 9/11, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.

Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’

Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.
Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan konstruktivisme.

Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar

Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.

Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna (dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.
Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam masyarakatnya.

Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya: orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan memungkinkannya menyerap itu semua.

Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

Orisinalitas dan progresivitas. Itulah yang menurut saya warisan amat berharga dari Ki Hadjar. Kita perlu meneladaninya, mengusahakan diri menjadi orang yang mandiri, mampu berpikir kreatif untuk menghasilkan solusi orisinal, berorientasi ke depan dan ikut memberi kontribusi kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, lagi-lagi belajar dari Ki Hadjar, ketekunan dan kegigihan belajar serta kepedulian dan keterlibatan dalam persoalan Bangsa Indonesia perlu kita miliki.

Bagus Takwin, Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Daftar Pustaka

Dewantara, K.H. 2004. Karya K.H. Dewantara, bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Fosnot, C. 1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. NewYork: Teachers College.

Lorsbach, A. & K. Tobin. 1992. “Cosntructivism as a referent for Science Teaching”. NARST Research Matters — to the Science Teacher, No. 30.

Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: Cambridge University Press.

Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books.

Resnick, Lauren B., John M. Levine, & Stephanie D. Teasley. 1991. Perspectives on Socially Shared Cognition. Washington, DC: American Psychological Association.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.

Rabu, 03 September 2008

Kebebasan Berpikir dan Berekspresi

(Lukisan "Doa yang ke 29" karya Wilman Syahnur)

Oleh Bagus Takwin, dosen Psikologi Universitas Indonesia


Secara psikologis, pengendalian dan pengekangan yang terlalu kuat terhadap individu dalam sebuah masyarakat akan membawa individu-individunya kepada kemacetan dan kemunduran. Melemahnya daya produksi dan kreasi, melemahnya kehendak untuk memberi pengaruh terhadap dunia, serta rendahnya kemandirian individu menjadikan individu sebagai makhluk yang pasif, kehilangan daya gerak dan hasrat untuk berkembang. Individu-individu dalam masyarakat itu hanya menunggu untuk diarahkan dan digerakkan seperti robot, tak punya aspirasi dan ambisi untuk memajukan diri dan lingkungannya, kehilangan vitalitas dan spiritualitas yang merupakan daya penggerak peradaban dan kebudayaan.

Sejalan dengan pandangan banyak ahli psikologi, pengekangan dan pengendalian individu yang terlalu ketat lewat undang-undang dan peraturan negara yang mengurusi perilaku perorangan sampai ke ruang privat serta penyeragaman di ruang publik punya rekor buruk dalam peradaban manusia. Sejarah menunjukkan, kemajuan selalu disertai dengan kebebasan dan keleluasaan individu untuk berpikir dan mengekspresikan pikirannya. Contohnya, masyarakat Yunani Kuno yang dicirikan oleh kebebasan dan keluasaan bagi warganya untuk berpikir dan mengekspresikan diri melahirkan filsafat yang menjadi dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Sedangkan masyarakat Eropa di Abad Pertengahan yang sangat mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi individu menghasilkan masa-masa kegelapan, kemandegan dan dekadensi di segala bidang kehidupan. Di tempat lain, masyarakat Islam Abad Pertengahan yang memberi kesempatan kepada individu untuk berpikir dan berekspresi menunjukkan perkembangan masyarakat dan kemajuan peradaban pesat.

Kebebasan berpikir, kebebasan mengeksplorasi diri dan lingkungan, kebebasan memperoleh informasi, serta kebebasan berekspresi berperan penting dalam pembentukan diri dan perkembangan kepribadian yang kuat dan sehat. Sejak masa awal kehidupan ada kecenderungan pada manusia untuk mengeksplorasi diri dan lingkungannya. Tindakan-tindakan anak balita bukan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dalam rangka meredakan ketegangan, melainkan juga dalam rangka eksplorasi dan penguasaan lingkungan. Motif yang menggerakkannya bukan keinginan untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit, melainkan persepsi bahwa dunia merupakan tempat yang menarik. Rasa ingin tahu merupakan bawaan manusia sejak lahir yang didasari oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Dunia menarik dengan segala gerak-gerik dan warna-warninya. Dunia merangsang pikiran dengan segala misterinya. Dunia menggugah harapan dengan segala potensinya. Daya tarik gerak-gerik dan warna-warni dunia, misteri dan potensi yang dikandungnya berkesesuaian dengan struktur mental manusia yang mengandung motif-motif mengembangkan diri, memahami dan mengeksplorasi dunia, serta potensi-potensi dinamis yang menggeliat terus untuk diaktualisasi.

Pertemuan antara manusia individual dan dunia secara terus-menerus menghasilkan kualitas transendensi-diri, daya untuk terus-menerus melampaui diri dan melampaui apa yang ada kini dan di sini. Pertemuan manusia dan lingkungan, terutama lingkungan sosial, merupakan syarat niscaya bagi perkembangan diri setiap manusia. Lingkungan jadi menarik untuk dieksplorasi dan dikembangkan karena manusia melakukan proses pemaknaan dengan perasaan, kehendak dan pikirannya. Fasilitasi penggunaan tiga unsur mental manusia itu menghasilkan motivasi kuat untuk terus-menerus memahami dan mengembangkan dunia. Sebaliknya, penghambatan terhadap ketiganya memupuskan daya tarik dunia, memunculkan kebosanan dan kejenuhan menjalani hidup, menghentikan pemahaman dan pengembangan dunia.

Belajar dari Hubungan Ibu-Anak dan Perkembangan Kepribadian

Pembentukan diri dan pengembangan kepribadian selalu terjadi dalam interaksi sosial. Tak ada diri dan tak ada kepribadian tanpa interaksi dengan manusia lain. Dasarnya adalah hubungan ibu dan anak di masa-masa awal kehidupan anak. Hubungan ibu dan anak yang sehat di masa balita adalah hubungan yang ditandai oleh empati dan kehangatan antar ibu dan anak, serta kesempatan-kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan dan mengekspresikan diri. Ibu yang terlalu melindungi membuat anak tak punya kesempatan untuk belajar memenuhi kebutuhan dan mengembangkan diri. Ibu yang terlalu melepas dan tak mengacuhkan anak menjadikan anak merasa diabaikan dan suka mencari sensasi ekstrem. Ibu yang terlalu menuntut mempengaruhi anak untuk cenderung menarik diri dan takut tampil. Ibu yang mempermalukan anak menghambat anak untuk membentuk diri secara utuh.

Diri dan kepribadian yang terbentuk selalu unik, bukan hasil imitasi atau identifikasi terhadap orang lain. Individu selalu mencerna semua masukan dari pengalaman, memilah-milah dan menyusun ulang semua masukan itu untuk membentuk dan melengkapi diri. Pengembangan diri adalah pembentukan kepribadian; proses pembentukan diri yang utuh, otentik dan unik. Setiap masukan bagi diri merupakan bahan olahan untuk mengembangkan diri dalam rangka membentuk kepribadian. Kepribadian yang sehat dan matang tampil sebagai diri yang memiliki identitas berkelanjutan sekaligus terus-menerus berkembang lewat identifikasi dalam dunia bersama, terorganisasi, adaptif, terintegrasi dengan lingkungan sosial dan berpengaruh positif bagi kehidupan sosial. Kompleksitas dan keluasan kepribadian ditentukan oleh seberapa banyak masukan dan rujukan yang diperoleh dalam pengalaman.

Pembentukan dan perkembangan kepribadian yang kuat dan sehat ditandai oleh diferensiasi dan integrasi diri yang tinggi. Diferensiasi diri adalah kemampuan orang untuk melihat berbagai hal dan masalah dari beragam sudut pandang, mencakup juga kesiapan hidup dalam lingkungan sosial yang plural serta kesiapan untuk menghadapi perbedaan pendapat dan cara hidup di dalamnya. Sedang integrasi diri adalah kemampuan orang untuk mempertemukan berbagai sudut pandang dalam memahami gejala dan menyelesaikan masalah, termasuk juga kemampuan untuk membangun konsensus bersama dengan pihak-pihak yang memiliki pikiran dan cara hidup berbeda dengannya. Diferensiasi dan integrasi diri ditentukan oleh masukan dan keleluasaan ekspresi diri yang diperoleh individu. Diferensiasi dan integrasi diri yang optimal memungkinkan individu untuk secara aktif mengolah (menerima, memilah, menyaring dan memanfaatkan) masukan-masukan yang diterima oleh diri.

Pembatasan masukan dan pengekangan ekspresi mengurangi daya diferensiasi dan integrasi diri, dengan demikian melemahkan kemampuan aktif individu untuk mengolah masukan-masukan yang diterima oleh diri. Rendahnya daya diferensiasi dan integrasi diri mempersempit pemahaman terhadap berbagai gejala sehingga memperkecil kemungkinan-kemungkinan pemaknaan beragam yang dapat dilakukan individu. Pemahaman yang sempit dan kecilnya kemungkinan pemaknaan beragam terhadap gejala menutup kemungkinan ditampilkannya ide-ide baru dan tindakan-tindakan kreatif. Hal ini dapat menghasilkan macetnya perkembangan diri individu dan peradaban manusia secara umum. Keterbukaan pikiran dan keleluasaan ekspresi memfasilitasi perkembangan peradaban manusia; sebaliknya ketertutupan pikiran dan kekangan terhadap ekspresi menghambat perkembangan peradaban manusia.

Kita bisa mengambil pelajaran dari pembentukan diri dan perkembangan kepribadian manusia. Pengekangan dan pengendalian individu dalam suatu masyarakat bisa mengarahkan kepada terhambatnya kemandirian individu-individu di dalamnya, juga hilangnya daya produktif dan kreatif mereka sehingga mereka tak dapat diharapkan bisa memberi kontribusi berarti bagi perkembangan masyarakat. Alih-alih berkembang, masyarakat dengan individu yang dependen dan pasif malah mengalami kemacetan dan kemunduran seperti yang terjadi di Eropa pada Abad Pertengahan. Di sisi lain, analog dengan ibu yang melepas begitu saja anaknya, masyarakat yang terlalu membebaskan individu anggotanya berpotensi menghasilkan individu-individu yang senang dengan sensasi ekstrem, tak terkontrol dan mengabaikan ikatan sosial yang menjaga keberlangsungan integrasi sosial. Masyarakat yang terlalu menuntut warganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri, menyelesaikan semua masalahnya sendiri tanpa aturan yang jelas, cenderung membawa masyarakat itu menjadi terkotak-kotak, saling berebut kuasa, mengalami segregasi sosial, bahkan anarkis. Masyarakat yang tidak memiliki kebanggaan dan model teladan serta punya borok-borok masa lalu yang tak tersembuhkan juga berpotensi untuk mengalami segregasi sosial dengan identitas yang tidak jelas.

Belajar dari hubungan ibu-anak dan pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak, hubungan antara negara dengan rakyatnya semestinya adalah hubungan kehangatan yang meleluasakan pikiran dan ekspresi individu disertai empati yang tinggi dari negara terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat. Keleluasaan itu perlu disertai juga dengan perlindungan dan bantuan memadai bagi individu yang kurang beruntung atau terancam kesejahteraannya oleh berbagai perlakuan tidak adil dari berbagai pihak. Alih-alih menjadi pengekang dan pengendali yang ketat bagi rakyatnya, negara selayaknya berperan sebagai pengasuh yang memberi jaminan kesejahteraan serta keleluasaan seluas mungkin bagi rakyatnya untuk berpikir dan berekspresi dalam rangka mengembangkan diri dan negara.

Membekali Individu dengan Ketahanan Diri dan Kekuatan Karakter

Daripada memproteksi dan mengisolasi individu dari dunia, jauh lebih berguna membekali individu dengan kemampuan mengolah informasi dan menjaga diri dari pengaruh negatif. Menghindarkan individu dari semua hal negatif dan berbahaya yang ada di dunia tidak mungkin dilakukan. Seorang ibu tidak mungkin membentuk diri dan mengembangkan kepribadian anaknya dengan mengisolasi si anak dari dunia. Begitu pula, negara tidak mungkin mengembangkan rakyatnya dengan mengisolasi mereka dari berbagai hal buruk yang ada di dunia. Pengisolasian berarti pengasingan dan penghentian perkembangan kepribadian yang mempersempit dan mengerdilkan diri. Dunia yang bergerak cepat dan kompleks tak terhindarkan oleh setiap orang. Mengatasi masalah akibat pergerakan dan kompleksitas dunia yang tinggi bukan dengan isolasi dan pengasingan, melainkan dengan membentuk kemampuan diri memilah dan mengolah informasi, mengatasi sendiri pengaruh negatif yang mengepungnya, menghadapi berbagai hal yang terjadi sambil tetap menegaskan diri secara produktif dan kreatif tanpa kehilangan harmoni dan kepekaan sosial. Pembentukan ketahanan dan kemampuan diri untuk menghadapi berbagai persoalan yang datangnya tak menentu jauh lebih bermanfaat ketimbang melindungi individu dengan proteksi dan isolasi dari dunia.

Ketahanan dan kemampuan diri mencakup aspek kognitif, afektif dan konatif diperlukan untuk menghadapi dunia yang terus bergerak pesat dengan kompleksitas yang tinggi. Apa yang terjadi di dunia tak dapat dihindari semuanya tetapi dapat dihadapi dan ditangani individu secara memadai jika ia memiliki bekal kepribadian yang memadai. Selain itu, kekuatan karakter juga perlu dikembangkan. Seligman (2002) dalam bukunya Authentic Happiness memaparkan apa saja keutamaan dan kekuatan manusia, lalu di tahun 2004 bersama Peterson, ia perinci dalam buku setebal 800 halaman berjudul Character Strengths and Virtues; A Handbook and Classification. Ada enam kelompok keutamaan dan kekuatan manusia: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan; (2) kesatriaan (courage); (3) kemanusiaan dan cinta; (4) keadilan; (4) pengelolaaan diri (temperance); serta (6) transendensi.

Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri dari enam kekuatan, yaitu (1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (2) mencintai pembelajaran, (3) berpikir kritis dan keterbukaan, (4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, (5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan (6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan mensinergikannya untuk pencapaian hidup yang baik.

Kesatriaan merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu (1) keberanian, (2) ketabahan atau kegigihan, dan (3) integritas, jujur dan menampilkan diri apa adanya.

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatan-kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah (1) kebaikan dan kemurahan hati; selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan (2) mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai.

Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup dalam di sini: (1) kewarganegaraan atau mampu mengemban tugas, berdedikasi dan setia demi keberhasilan bersama, (2) fairness dan kesetaraan; memperlakukan orang lain secara setara atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan pada setiap orang; serta (3) kepemimpinan.

Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pengendalian-diri atau kemampuan menahan diri; (2) kehati-hatian; dan (3) kerendahan hati.
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna pada kehidupan. Dalam keutamaan ini ada (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) rasa syukur atas segala hal baik; penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan; (3) spiritualitas; memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; (4) pemaaf dan pengampun; (5) menikmati hidup dan punya selera humor yang memadai; serta (6) memiliki semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari.

Pembekalan ketahanan dan kemampuan diri serta kekuatan karakter sejak dini dapat dilakukan melalui pendidikan berbasis berpikir kritis, etika berbasis kepedulian dan keakraban, pembinaan spiritualitas yang mementingkan keterbukaan diri dan harmoni, serta pembiasaan dialog dengan beragam pihak. Pembiasaan sejak kecil lebih efektif daripada pengubahan di masa dewasa. Memang butuh waktu yang panjang untuk melakukan perbaikan bangsa dan negara Indonesia melalui pembiasaan dan pembinaan karakter sejak dini. Namun, perbaikan bangsa memang makan waktu dan tidak hanya diperuntukkan bagi hari ini. Masa depan sangat penting untuk dipertimbangkan dan dipersiapkan sejak kini. Secara psikologis, jauh lebih penting mempersiapkan pembekalan bagi masa depan daripada perubahan kepribadian di masa kini. Orientasi ke depan juga merupakan salah satu ciri manusia dan masyarakat yang sehat.

Mengembangkan Strategi Promotif

Strategi yang perlu dikembangkan di Indonesia dengan mempertimbangkan proses demokratisasi adalah strategi promotif yaitu memasukan hal-hal yang dianggap baik ke dalam ruang publik dan mempromosikannya. Strategi promotif dipertentangkan dengan strategi preventif yang mengutamakan usaha-usaha menghambat hal-hal yang dianggap tidak baik. Strategi preventif akan mengembalikan ruang publik ke tangan-tangan otoriter, bahkan merebut ruang-ruang privat dari individu dan menyeragamkan setiap orang dengan dasar kepatuhan. Indonesia sudah pernah mengalami kondisi dikuasainya rakyat oleh negara secara otoriter-totaliter dan itu adalah pengalaman pahit. Belajar dari pengalaman, sudah selayaknya kita hindari strategi preventif.

Strategi promotif untuk memfasilitasi terjadinya hal-hal produktif dan kreatif jauh lebih efektif daripada strategi preventif untuk melarang orang melakukan tindakan-tindakan negatif demi mencegah terjadinya hal-hal negatif. Promosi berbagai hal yang dianggap baik di ruang publik secara psikologis akan menghasilkan keragaman alternatif bagi rakyat, terutama anak dan remaja dalam pembentukan produktivitas, kreativitas dan identitas unik mereka. Keragaman pilihan model dan dialektika berbagai pandangan juga akan menunjang pertumbuhan karakter demokratis serta pembentukan atmosfer demokrasi. Menampilkan beragam acara yang menggambarkan apresiasi terhadap susah-payahnya proses menjadi sukses, penayangan beragam pilihan profesi, beragam karya, dan diskusi-diskusi yang mempertemukan beragam sudut pandang merupakan contoh-contoh dari kegiatan yang didasari oleh strategi promotif. Pada prinsipnya, strategi promotif merupakan strategi untuk mengoptimalkan keragaman alternatif pilihan produksi, kreasi, dan identitas dalam ruang publik.

Strategi promotif sejalan dengan proses perkembangan kepribadian yang sehat. Dengan strategi ptromotif, masyarakat mempertemukan individu dengan banyak alternatif hal-hal positif yang bisa menjadi masukan baginya untuk melakukan identifikasi di dalam dunia bersama. Masukan yang positif dan konstruktif itu memberikan perbendaharaan bahan yang kaya bagi pengembangan dan perluasan kepribadian yang kemudian dapat menggugahnya menampilkan tindakan-tindakan produktif dan kreatif. Perluasan kepribadian juga meningkatkan keterbukaan diri terhadap dunia, meningkatkan derajat diferensiasi dan integrasi diri, meleluasakan manusia untuk terus menerus melampaui diri dan dunia. Perluasan kepribadian dengan tindakan-tindakan produktif dan kreatif sekaligus merupakan pengembangan masyarakat, pengembangan peradaban dan kebudayaan manusia.***

Minggu, 10 Agustus 2008

Pergi Ke Luar Negeri

(lukisan karya Joko "Gundul" Sulistiono)

A Elwiq Pr, bekas murid Tamansiswa Turen

Penemuan demi penemuan kujumpai dalam tiap-tiap hariku. Bukan hal-hal besar, hanya sederhana dan kecil-kecil saja meski justru bermakna dalam dan tak terandaikan. Menjelajahi beberapa tempat di negeriku yang sebegini tak terkira indah dan luasnya telah kulakoni tanpa banyak bicara, atau mengimpikannya. Bahkan sekedar mengangankannyapun tidak. Ini kurintis jauh sebelum media massa menggembar-gemborkan petualangan-petualangan perjalanan dalam durasi informasi setengah jam-an dipotong iklan. Titian hidupku telah dan terus melampaui segala rupa yang seakan serba cepat manakala kulakoni dengan akalbudi terjaga serta menjaga yang tertera di garis tangan. Aku sadari, ada masa kita tak sepatutnya mempertanyakannya mengapa, selain menyadari sepenuhnya bahwa nantinya segala yang kita jalani akan bercerita dengan sendirinya. Batinpun telah pula menyimpan pesan-pesan bernas. Aku dalam hal ini, menjalaninya dengan kuharap baik pun tulus tatkala mengikhlasinya sebagai keputusan Ilahi yang kuanggap paling tepat meski (mungkin) tidak bisa dibenarkan semua orang.

Pergi ke luar negeri? Itu soal lain lagi. Kini, aku justru merenungkannya sebelum melakoninya. Apa tujuan orang pergi ke luar negeri?

Timor Lorosae kinipun luar negeri bukan? Apa yang disebut luar negeri itu? Berbondong-bondong di blog-blog manusia hari ini menunjukkan perjalanan masing-masing ke luar negeri itu. Bahkan koran yang terbit di Surabaya dan oplahnya sudah melampaui pembaca tingkat Nasional itu pun tak absen mengamini kecenderungan serba luar negeri dengan mengabarkan betapa seorang pemudi negeri ini telah pergi ke luar negeri dengan segala jasa dan prestasi, entah untuk diri sendiri atau demi bangsa ini. Istilah bombastisnya keliling dunia.

Mbakyu sayapun tak urung terkena imbas di mana anaknya yang kini sekolah dan terjaring dalam sistem pendidikan SBI –Sekolah Berbasis Internasional—menyatakan keoptimisannya bahwa suatu saat anaknyapun akan ke luar negeri bila bisa terseleksi dalam pertukaran pelajar atau semacam itu, sebab sekolah SMP anaknya itu telah bekerja sama dengan Monash University, Australia dan seterusnya. Bekerjasama atau didikte sistem pendidikan luar negeri? Nyata bahwa kita sudah didominasi. Kudengarkan saja dalam kemirisan yang tak bisa kututupi. Aku merasa tidak enak, mungkin ini yang diprihatinkan kaum pendahulu yang menyalamiku dengan bening mata berkaca-kaca tak bisa kulukiskan dengan kata-kata, salah satunya adalah Pak Kuntowijoyo almarhum. Bahwa kita sedang dalam masa menyambut generasi yang hilang, ulas beliau dalam kata-kata tertatih-tatih tak jernih. Dan kini aku bukan hanya dibuat mengerti, selain menangisi apa yang beliau maksudkan. Kian mengerang pedih ketika kenyataan dibeberkan pula dengan empati tinggi oleh Pak Ayip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah” tentang kemudaratan petinggi negeri ini menyangkut kebudayaan dan pendidikan dalam satu keping dinarus menggelinding tersesat dalam labirin tak berujung.

Generasiku parah sekali, sedikit yang memiliki kepercayaan diri berkomunikasi dengan bahasa Ibu, sedang satu generasi di bawahku semakin payah. Tak lagi memiliki kosakata yang cukup untuk berbicara dengan bahasa Ibu, bahasa daerah dalam hal ini. Apa yang bisa kita jadikan oleh-oleh ke luar negeri bersangkut-paut dengan negeri ini. Apa yang bisa mereka banggakan dari negeri bernama Indonesia ini? Ketika menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negeri inipun tak lagi bisa diucapkan dengan rasa tanggungjawab selain mengacaukannya dengan bahasa “gaul” dan tak mau tahu atau bahkan tak peduli mana itu yang benar, baik dan indah. Ini saya bicara belum sampai pada bagaimana dengan bahasa tulis. Bagaimana manusia hari ini yang begini mampu memanfaatkan dengan beradab bahasa asing misalnya bahasa Inggris yang meruyak di mana-mana itu? Ketika tatabahasa sendiri tak sanggup direngkuh dan diwarisi. Tidakkah kita prihatin, pergi ke luar negeri dengan berbekal bahasa Inggris minus pemahaman budaya adalah cukup? Betapa serba tak siap saja kita ini sejatinya. Dengan semacam ini tidakkah kita hanya menunjukkan pribadi yang pantas diremehkan? Betapa hanya mudah terbawa arus saja bila kita berbicara tentang segala rupa yang menginternasional. Kita tak bisa lagi mengenali diri sendiri, tak tahu di mana akar tubuh ini bertumbuh.

Aku tercenung. Aku berdiri, bernafas dan berpikir dengan akalbudi yang mudah-mudahan masih bisa disebut sehat wa’alfiat di sebuah desa yang tak kalah kemaruknya berbicara tentang segala rupa yang berbau luar negeri. Desaku tak kalah genit, telah dibuka pula kelas-kelas les Bahasa Jepang. Bagus tentu saja. Tapi adakah yang membuka kelas les Bahasa Jawa? Sedang aku tahu, kian ke sini generasi muda kian tak mengenali bahasa Ibunya atau sedikitnya bahasa neneknya. Bukan soal Jawanya tentu saja. Aku penikmat degung Sunda, aku menghargai calung Patikraja, aku histeris ketika mendengarkan Saluang Minang berikut kisah yang menyertainya meski tak kumengerti benar. Aku merasa beruntung sebab aku masih sempat menikmatinya. Aku tahu, di kepulauan Kei di Maluku tenggara sana, pun sejatinya memiliki bahasa Ibu yang luarbiasa mengagumkan. Sedang berapa gelintir manusia Kei yang kini menguasainya? Menyedihkan. Apa yang kurasai sekarang lebih menyakitkan dari beberapa dakade lalu ketika orang merasa semua yang serba luar negeri adalah lebih bagus. Keliru, kita telah keliru mengartikan siapa diri kita sebenarnya.

Sebagai manusia hari ini, sejatinya kita di muka bumi ini telah gagal melestarikan warisan budaya masa lalu, sedikit sekali dari kita yang menyadari itu dan kita tak tahu bahwa apa yang terjadi saat ini adalah makna menuju kiamat-batin.

Suara samar kudengar dari luar sana: “Kamu silau!”

Mungkin benar tapi tidak bisa kusepakati sebagai kemutlakan ketika aku justru sedang merasa “pulang”, pulang untuk membuat loncatan lebih tinggi dari yang pernah kulakukan. Bahwa aku sebagai manusia silau ini atas segala rupa yang berbau luar negeri mulai memikirkan bahwa kata silau itu adalah tuduhan, lantaran saat suara itu ditujukan padaku, aku justru tak mau lagi mengejar-kejar beasiswa sekolah ke luar negeri, sebab sekarangpun apa yang disebut-sebut dengan beasiswa sekolah ke luar negeri tidak kalah busuk dengan apa yang ditawarkan di negeri ini bila keliru menafsir dan menjatuhkan pilihan. Pun nilai pergi ke luar negeri bagiku kini sudah mengkristal dalam diriku, yang kelak amanat pergi ke luar negeri kusertai dengan akalbudi yang penuh terisi sebagai aku yang bagian dari desaku, kampungku, bangsaku.

Demi menganyami lubang-lubang di tikar kehidupan desaku. Aku tak ingin menambal tikar dengan jadah. Sebagaimana sulaman benang, anyaman tikar masih bisa ditambal bukan dengan jadah seperti yang tersemat dalam tembang “Lir-Ilir”, tapi bisalah kita tambal sulami dengan pandan bila tikar itu dari daun pandan, atau dengan mendong bila tikar itu terbuat dari sejenis alang-alang berbahan ulet itu. Mampukah aku? Aku tak tahu, tak semudah dalam bayangan di kepalaku tapi sekaligus kuupayakan di hari-hari ini untuk terus berpikir positif dan optimis, bahwa setidaknya bahasa Jawa masih kubaca dalam majalah yang setiap hari Minggu menggeletak di depan pintu rumah. Ke Yogyakarta awal bulan inipun menjadi penanda bagiku bahwa aku tidak keliru jalan sebab jalan takdirku telah pula terajut dalam tempuhanku berjumpa, kemudian bersinergi dengan enersi apa dan siapa saja yang tak pelak berjejalin di masa lalu, sekarang dan niscaya masa depan tak putus-putus. Saling menabahkan.

Bahwa ada yang sederhana, yang baik, bukan sekedar gagah-gagahan masih bisa kita sertakan dalam jiwa yang muda dan tangguh manakala mendapatkan amanah pergi ke luar negeri. Jadi berbekal apa kita pergi? Sebab pergi pada hakekatnya adalah perjalanan batin menuju pulang. Selagi kita tak abai akan hal itu, kita akan tahu ke mana arah tuju kita dalam hidup, bahkan (apalagi) sekadar pergi ke luar negeri. Sugeng tindak.

Bon voyages. Selamat jalan, untuk pulang dengan selamat …

Turen, Juli 2008

Minggu, 04 Mei 2008

Merayakan Waktu Senggang



Alfathri Adlin
Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB, editor Jalasutra dan Pustaka Prabajati

(Naskah ini diambil dari rubrik Khasanah, harian Pikiran Rakyat, Bandung, 3 Mei 2008)

Apa yang Anda bayangkan tentang waktu senggang? Pergi berlibur? Jalan-jalan sambil belanja di mal dan factory outlet? Pergi menonton ke bioskop? Bertamasya? Silakan bayangkan sendiri kegiatan "waktu senggang" lainnya yang lazim bagi Anda. Namun, perhatikan lebih seksama, saat ini terlihat bahwa bayangan kita tentang waktu senggang lebih terkait dengan rekreasi. Waktu senggang rasanya tak pernah dikaitkan lagi dengan reflektivitas dan kontemplasi. Sebagaimana disinyalir Bambang Sugiharto, di waktu senggangnya manusia kontemporer kini cenderung "pergi, ke luar dari diri menuju perangkap-perangkap eksterior", bepergian ke tempat-tempat yang disebutkan di atas.

Josef Pieper, pemikir Jerman yang mengamati hilangnya pemaknaan manusia kontemporer akan waktu senggang, yang merupakan saat bagi manusia untuk "kembali kepada diri", menikmati hidupnya sebagai manusia.

Oleh karenanya, waktu senggang tidak dipahami sebagai saat bermalas-malasan, karena justru merupakan waktu paling produktif. Sebagaimana dikemukakan Anton Subianto, "Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa waktu senggang adalah saat di mana manusia hidup secara paling penuh. Itulah saatnya, di mana manusia bereksistensi sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Maka, pelenyapan waktu senggang dari kehidupan manusia merupakan penghapusan visi kemanusiaan tersebut. Padahal, Aristoteles pernah berkata bahwa kita bekerja agar dapat menikmati waktu senggang."

Waktu senggang

Skole dalam bahasa Yunani bermakna waktu senggang. Sementara, dalam bahasa Latin adalah scola atau otium, yang berarti "luang" atau "rileks". Kata skole inilah yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Oleh karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran semula memiliki konotasi "waktu senggang".
Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu orang bebas dan para budak. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar, di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tak bisa mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara, orang bebas punya banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang, mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar.

Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna "keterampilan bagi orang bebas", serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan kehormatan. Konsep ini, dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna "keterampilan bagi budak" dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material.

Artes liberales ini biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik, karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang. Namun, di dunia pendidikan kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai "waktu senggang", yaitu untuk kembali ke diri, telah lenyap.

Sebagaimana ditulis Anton Subianto, "Menurut Josef Pieper, hilangnya penghargaan pada waktu luang terjadi karena pendidikan (eksakta). Baginya, pendidikan bukanlah semata pengetahuan diskursif dengan tujuan analisis, manipulasi, dan rekonstruksi realitas yang adalah ciri khas ilmu-ilmu eksakta. Pengetahuan ini melalui investigasi, artikulasi, kombinasi, komparasi, klasifikasi, abstraksi, deduksi, dan justifikasi, mau memberi kita kekuatan dan kekuasaan untuk mengontrol dunia. Sayangnya, pengetahuan macam ini justru tidak berbicara sedikit pun tentang panggilan dunia asli, seruan untuk menjadi manusia."

Kini, kondisi pendidikan pun semakin diperparah dengan adanya merkantilisme, yaitu komersialisasi pengetahuan dan informasi di era kapitalisme global. Pepatah Latin berbunyi, "non scuola sed vitae discimus", kita belajar bukan untuk sekolah (ujian, nilai, keahlian, kepintaran, ijazah, kemudahan mendapat pekerjaan), tetapi pertama-tama untuk hidup. Namun, saat ini pendidikan lebih dipandang sebagai investasi untuk memperoleh "upah material" yang besar di kemudian hari.

Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Presiden SBY mengimbau agar para pendidik bisa mengarahkan dan menyiapkan peserta didiknya untuk membuka lapangan kerja. Sekolah pendidikan berfungsi agar menjadikan orang kaya raya. Padahal, konon, 9 dari 10 pengusaha sukses bukanlah sarjana. Bukan hanya itu. Banyak pedagang yang sukses mendulang untung hingga jutaan rupiah per harinya. Namun, kasarnya, untuk sukses berdagang seperti itu, tidak lulus SD pun bukan masalah.

Hal ironis lainnya ditemukan dalam salah satu liputan suplemen "Kampus" yang meliput tentang kebiasaan para mahasiswa di Bandung menghabiskan "waktu senggang" sesudah kuliah untuk clubbing atau nongkrong di mal dan restoran fast food. Alasan yang mereka kemukakan umumnya adalah "untuk melepaskan penat dan stres setelah kuliah seharian". Ini sebenarnya mengherankan. Permasalahannya, mayoritas mahasiswa di Indonesia tidak dikenal sebagai pembaca buku, memiliki gairah keilmuan yang besar, atau sering mengunjungi perpustakaan. Banyak dari mereka bahkan bisa lulus menjadi sarjana, tanpa pernah menamatkan satu buku keilmuan yang menjadi pilihan kuliahnya, dan skripsi yang asal jadi. Bukan hanya itu, di berbagai kompleks perumahan yang banyak menjadi tempat kos mahasiswa, biasanya menjamur tempat bermain dan menyewa play station atau warnet yang menyediakan game online. Para mahasiswa sering bersaing dengan anak-anak memenuhi tempat tersebut. Sepertinya, berlebihan apabila belajar seharian di bangku kuliah telah membuat mereka sumpek dan stres.

Penyebab ketidakbergairahan para mahasiswa tersebut memang banyak. Salah satunya adalah atmosfer pendidikan yang feodal, tertutup, enggan berubah mengikuti progres keilmuan. Selain itu, pola pendidikan dan pendidik yang tidak inspiratif (pepatah "guru yang baik itu mengajari, guru sejati itu memberi inspirasi"). Dan yang paling mendasar adalah banyaknya mahasiswa "salah jurusan" dikarenakan tidak ditanamkan visi tentang fungsi pendidikan bagi hidupnya; yang ditanamkan hanyalah pandangan bahwa pendidikan bisa membuat kaya raya.

Permasalahannya, di kalangan pendidik seringkali mengakar keyakinan bahwa pendidikan bisa mencetak seseorang menjadi apa pun. Banyaknya mahasiswa yang tidak bersemangat kuliah, bahkan drop out, mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan menemukan energi minimalnya di sembarang bidang. Energi minimal merupakan semacam bayangan jati diri individu. Itu merupakan kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pendidikan dikembalikan kepada semangat "waktu senggang", yaitu dalam pengertian "kembali kepada diri". Pendidikan seharusnya bisa mengantarkan peserta didiknya untuk mengenali energi minimalnya. Dengan begitu, peserta didik bisa merintis jalan ke arah pengenalan diri autentiknya. Maka, pendidikan pun akan berfungsi sebagai panggilan untuk menjadi manusia.

Kerja dan waktu senggang

Waktu senggang sebenarnya dipahami juga sebagai "human action on holiday" (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ke tujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi menguduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.

Namun, seperti dikemukakan di atas, manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya, mereka semakin jarang bersentuhan dengan "totalitas diri"-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup. Seperti diidentifikasi oleh Bambang Sugiharto: "… dalam budaya image audio-visual elektronik agaknya ‘yang sublim’ itu adalah histeria tanpa alasan atas pesona fiksi image-image itu, keterpesonaan tak terjelaskan terhadap kekuasaan dan kecerdasan elektronik. Baudrillard menuding pasar image sebagai sekadar tendensi untuk menguasai dan menggoda saja, tanpa makna, tanpa dasar, dan tanpa acuan. Bila itu benar, maka yang terjadi dalam pasar global kini hanyalah pemompaan adrenalin tanpa kepuasan, pemancingan kuriositas tanpa pernah mendapatkan, pembentukan keinginan tanpa tujuan. Dalam budaya semacam ini, memang tak ada tempat bagi kontemplasi dan refleksi atas substansi. Segala energi terserap oleh pesona eksterioritas hasrat dan image (kerja, belanja, mengonsumsi, pergi-pergi)."

Kadang menakjubkan melihat orang Jakarta berbondong-bondong merayakan waktu senggang dengan berbelanja di berbagai factory outlet di Bandung. Seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan bahwa kini waktu senggang hanya bermakna "jeda" demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan ilusi (budaya media dan konsumerisme).

Salah satu penyebab hilangnya pemaknaan waktu senggang sebagai hari kudus untuk kembali kepada diri adalah perubahan pola kerja manusia. Di kota-kota besar tidak begitu sulit untuk menemukan orang-orang yang terjebak "hidup untuk kerja" ketimbang "kerja untuk hidup". Pieper mengutip Thomas Aquinas, "Kemalasan justru adalah kemandulan menggeluti waktu senggang dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengultusan terhadap kerja, karena kerja di pandang hanya sebagai demi kerja semata." Dunia manusia menjadi begitu gaduh dengan urusan bisnis dan kerja.
Pieper mensinyalir bahwa pada masa ini kerja telah menjadi sebentuk "agama". Sebagaimana dikemukakan Fransiskus Simon, "Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan, hingga tak heran bahwa ia lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan, seperti pesan di balik ungkapan ‘kita mesti bekerja seperti Herkules’. Kerja tak lagi menjadi ekspresi eksistensi manusia, tak lagi bernilai sakral, tak lagi punya fungsi sosial. Kerja telah menginvasi berbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian, maka manusia terjerembap ke lembah rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi."

Kini, peradaban manusia identik dengan kerja total dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut. Oleh karenanya, Pieper menggunakan mitos Sisifus, yang dihukum Dewa untuk terus-menerus menaikkan batu ke atas gunung dan menggelindingkannya, sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia menikmati hasil makna dari pekerjaannya. Waktu senggang yang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu lebih tampak sebagai kemalasan (untuk kembali kepada diri).

Di AS misalnya, ada pengacara yang tidak pernah istirahat makan siang. Dia makan siang sambil berjalan ke sana kemari untuk bekerja. Atau suami istri yang saking sibuknya bekerja, harus membuat janji untuk bisa meluangkan waktu berduaan. Berbagai kajian terkini menunjukkan bahwa jumlah waktu yang diabdikan untuk bekerja di AS sedang berada di puncaknya. Namun, terdapat pula berbagai tren teknologi yang dapat berujung pada pengurangan hari kerja. Salah satu artikel dalam New York Times (24 November 1993) menunjukkan bahwa ada gerakan serius di Eropa untuk membatasi kerja menjadi empat hari seminggu.

Bayangkan Jakarta. Kemacetan yang semakin parah, sedotan rutinitas kerja yang monoton dan melelahkan, serta interaksi antarmanusia yang tidak ramah. Orang harus berangkat kerja sewaktu masih subuh, agar tidak terjebak macet. Ketika waktu pulang tiba, banyak yang memilih salat Magrib di kantor, atau mampir dulu di berbagai tempat hiburan, agar bisa menghindari kemacetan. Setelah agak malam, baru mereka pulang. Sesampainya di rumah, badan sudah terlalu lelah untuk menikmati waktu senggang dengan kembali kepada diri. Bahkan, di akhir pekan mereka cenderung "pergi keluar dari diri", menuju perangkap eksterioritas yang dipenuhi image dan ilusi.
Zamzam AJT pernah menguraikan bahwa bagi yang beragama Islam, ada mekanisme harian yang merupakan saat bagi penganutnya untuk "menikmati waktu senggang", yaitu salat. Dalam hadis disebutkan bahwa "Salat adalah miraj-nya muminin". Zamzam menjelaskan, "Maka, di dalam kata salat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (`uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah salat yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah salat menunjukkan suatu proses kenaikan (miraj) bertahap."
Salat bukanlah jeda yang mengganggu ritme kerja. Justru, setelah salat (khusyuk), orang akan merasakan kemudahan meneruskan pekerjaannya. Selain itu, "Istilah salat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata salat mencerminkan suatu proses "pengorbitan" setiap ciptaan Allah. Secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah SWT . Ini diisyaratkan oleh An-Nûr: 41...."

Dua penelitian yang dilakukan terpisah oleh Budi Fajar A.M. dan Herry Mardianto memaparkan tentang aktivitas pengikut thariqah di Jakarta dan Bandung. Sudah menjadi kelaziman bahwa pada akhir pekan, banyak orang dari berbagai agama mengikuti aktivitas keagamaan. Begitu juga di kalangan umat Islam. Namun, ada satu hal sangat spesifik di komunitas thariqah tersebut, yaitu waktu senggang yang mereka jalani secara eksplisit dinyatakan untuk "kembali kepada dan mengenal diri". Mereka menjalani riyadhah untuk "melatih agar jiwa (nafs) bisa bertahap lepas dari keterikatan terhadap jasad", setiap minggu mengunjungi mursyidnya untuk mengaji dan menerima bimbingan suluk agar bisa mengenal diri yang berarti juga mengenal Allah, serta mengadakan pengajian tafsir Alquran yang memuat banyak khazanah tentang "pengenalan diri". Kedua penelitian ini setidaknya memperlihatkan bahwa di antara deru kebisingan dunia kerja kota besar, masih ada orang-orang yang berupaya untuk menghindari waktu senggangnya dari perangkap eksterioritas.

Oleh karenanya, sudah semestinya ideologi merkantilisme dihilangkan dari dunia pendidikan. Pendidikan dikembalikan sebagai "waktu senggang untuk kembali kepada diri" dengan mengolah energi minimal peserta didiknya. Dengan demikian, diharapkan kelak mereka akan bekerja di bidang energi minimalnya, menghasilkan karya-karya yang berguna dan bukan "asal mendapat upah material". Dengan demikian, manusia bisa senantiasa merayakan waktu senggangnya baik dalam dunia pendidikan maupun kerja, mencelup hari-harinya dengan aura "hari kudus"-nya.***

Jumat, 07 Desember 2007

Collectivity of the ‘80




by Kuss Indarto

1

When these “kids” from Class of ’80 first attended college at Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSRI) “ASRI” Yogyakarta (from year 1984 changed its name to Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta), ambushes of external situation encompassed them at the moment.

First, the strong controlling system of the state was on every aspect of education in Indonesia. It was indicated by the implied NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Campus Life Normalization) which was legalized in 1979 by the Minister of Education and Culture, Dr. Daoed Joesoef, who occupied that position from 1978-1983. The fact illustrates the important part when ‘New Order’ state centralism got even thicker, especially after four years before that moment, Soeharto regime was being hit by the incident of Malari (Malapetaka 15 Januari 1974/ Januari 15th, 1974 Disaster) and it provided immense impact on the state’s political system. This Daoed Joesoef’s version of “Normalization” was a ‘how to discipline’ for every single college in Indonesia and it affected the college’s situation, it turned them into “closed area most likely to be prison area” . Even further; another derivation of state centralism began to arise at the moment, which was the project of Pendidikan Moral Pancasila/Moral Education based on Pancasila (PMP), which began at the day Daoed Joesoef signed the first book of PMP on February 29th 1980. From such momentum on, P4 coursing became an integral part for every (candidate) of student, university student and civic administrator without exception.

Second, in the domain of fine art, the creative situation went ahead to be more passionate, after being radically pioneered by their seniors through Gerakan Seni Rupa Baru/New Art Movement (GSRB) in the year of 1975, or five years before they attended college, and its effect remain to be lingering many years after. The exhibition of GSRB at Taman Ismail Marzuki, August 2nd-7th 1975, 8 months after the incident of Desember Hitam , was being perceived by many art researchers as the important phase of the birth of Indonesian contemporary fine art. One of the conclusions from the birth of GSRB was “this movement was an academic act of rebellion from the young artist against the senior artists whom, most of them, teach at fine art college.”

Such ambush of situation might have inherently; influenced the creative life of fine art students from class of ’80. From one side, there were certain codes or signals from the state -obvious, blurry or transparent—which had to be engaged as basic principles and it must be collectively obeyed as the legal and social agreement. From the other side, there were natural-instinctive problems which come from themselves as artist-human who did yearn for freedom of expression and thinking. I guess this is my imagination of how the possibility of the problem’s collision and contradiction applied to the kids or students at those years.

If , then, there is the strong spirit to build creative rebellion’s leitmotif in this class of ’80 back when they still attended college, it can be comprehended as the linear consequence of art political atmosphere which at that time went so coercive. Such situation demanded various creative compensations as canalization form of dead locked of wider political culture communication rooms. State demonstrated itself, muscularly, as the arrogant militaristic figure. And college, itself, was the little soldier of state power.

On another dimension, at the same time, there was this structure of Javanese Culture coped exploitatively by Yogyakarta person himself, General Suharto. One of Javanese value which being bent by militaristic singular logical reasoning was the concept of ngono yo ngono, ning ojo ngono, It is what it is, but don’t think it as it is. This idiom, which had thickened itself as ideology, gave kind of demarcation line for the presence of critic. Two words ngono in the beginning of the sentences indicate the possibility and chance of critic’s presence in socialisation of socio-society. Here lies the ability of human being and/or Javanese culture to accommodate the coming of critics. Meanwhile, the third ngono word as if becomes the main key which implies the importance of ethic and morality in every emerging critic; of course it has to do with Java’s unique subjectivity. It means there is contemplative relation of the critic’s presence which goes hand in hand with the importance aspect of critic’s format, shape and packaging. So when we observe the reality mentioned above, it shows the emerging of (Javanese’s exclusive) critical discourse’s meaning which can be viewed as paradoxical and ambiguity. The importance of critic (as if only) lies in its packaging. At this very point, then, the structure of New Order based its power upon. As if they issued regulation which based on (Java) culture’s principle. But in the reality they just exploited it. Ngono yo ngono, ning aja ngono, had changed into “ngritik ya ngritik, ning aja ngritik (you may criticize anything, but you may not do so)”


2

Such social facts had become the significant configuration in socio cultural area. Afterward, it gives great influence on the possibility of the stagnation of artist’ creativity rapid and critical effort. This particular situation, then, was objected by artists, including art students. It also gave birth to creativity sparks, rejecting such stagnation through experimentation and enrichment in creative act.

For example, we will discuss what the three important members of Class of ’80 have been doing so far, Eddie Hara, Dadang Christanto and Heri Dono. The citing of these three names doesn’t pretence to ignore the other names, which also may have the same creativity’s fluctuation, like Arwin Darmawan, Basuki Sumartono, Jatmiko and others. I must apologize to those unmentioned names, since I can’t discuss their activities precisely at this time. This note was intended more to be a little effort of creativity tracing based on the work and also as objective as it can be, scrutinize the already existing maps, not based on personal closeness. More than that, it’s only my observation, with all of my limitations, as the much younger generation than members of Class Of ’80. I believe that trio; Eddie Harra-Dadang Christitanto-Heri Dono, are the actors whose popularity (if one might say so) was being supported and helped by “structure” that circled them at that time. It was the community itself and wholly constructive and friendly communal spirit that came from Class Of ’80. Both elements fused mutually.

Eddie Hara, I think, gives creative emphasis on idea executing when he, with Ellen Urselmann, did experimentation through his performance art incident that lasted for 24 hours in the year 1987. Conceptually, the idea of this performance art incident was very interesting and it also became important for the development of visual art in Yogyakarta, even Indonesia: that every incident has certain possibility to be the incident with visual art context. Many years later, evolutionary, the movement of art based on performance art still evolves in Yogyakarta until now. Maybe Eddie didn’t intend to turn himself into model and pioneer, but at least what he had done 20 years ago had given contribution for the creative plurality in the world of visual art.

Eddie Hara himself, with his unique children-like visual expression ability (some critics perceive the tendency of his work as naïve-ism symptom), also influences many other artists, especially his junior. Maybe those juniors can be labelled in Eddie’s epigone criteria. Erica Hestu and Faizal are two of Eddie’s juniors who openly admit themselves as the artists whose work dig the spirit of naïve ala Eddie Harra.

Another outstanding figure is Dadang Christanto. He gives example of another artist’s prototype which out of mainstream pattern; artist and also social worker. His involvement in various activities that made him communicating with many parties from different educational background, like Romo Mangunwijaya activities, gave him the depth in his aesthetic-reason. His installation work, Balada Sukardal, which was made in the year of 1986, was noted as work that could present good metaphor in describing how tragic the tale of tukang becak from Bandung, Jawa Barat, Sukardal was. And after that his works which criticized problem of humanism, including ones which started from his own personal problem that politically fragile , did spread monumentally in various forums. Like his works in exhibition of Perkara Tanah (1995) at Bentara Budaya Yogyakarta, 1001 Manusia Tanah at Marina Beach (1996) and The Unspeakable Horror at Bentara Budaya Jakarta (2002).

Dadang also plays his role not in local level only, but also carries local value and issue to be presented at important international level forum. For example, he involved in the importance fine art exhibition, like Exhibition of Quinta Bienal de la Habana, Havana, Cuba (1994), Tradition/Tension: Contemporary Arts in Asia, in USA, Canada and Australia (1996), Biennale de Sao Paolo XXIV, Brazil (1998), Kwangju Biennale Korea (2000), and Venezia Biennale, Italia (2003).

Dadang’s involvement in these international forums became the important signal of the artist’s tendency to celebrate projects of fine art’s internationalization for developing country’s artist (which one of the aspects) who tried to infiltrate fine art’s centrals in USA and Europe which was perceived them as oriental.

And so similar thing took place for Heri Dono, who didn’t become the star at Class of ’80, or gleam at Yogyakarta’s area, but also became one of the brightest stars of Indonesia Contemporary Fine Art in the last 10 years. The performance of his alternative puppet shadow at Senisono Art Gallery on September 27th-28th, 1995 with the title Si Tungkot Tunggal Panaluan, gave clear direction of Heri Dono’s creative orientation and point of view which was the one that still step on tradition while at the same time try to re-actualize shadow puppet along with contemporary line that he thought about.

Furthermore, the artist who was born in Jakarta entered international level fine art world repeatedly. I can’t mention them all here. One of them that could be underlined is his involvement in Venezia Bienalle 2003. He was invited, directly by its main curator, Hou Harru, to present his work in main venue. Not like most of other Indonesia artists who “merely” presented their work in supporting venue.

His role was outstanding and important enough in Kuda Binal as the counter-act movement of Bienale Jogja 1992 which was perceived as the nurturing for conservative medium, and it strengthened the assumption of Indonesia fine art, that Yogyakarta was fertile breeding ground for any creative indication of fine art.

3

Then what can we comprehend between the lines from the story of these three “hot-shots” from Class Of ’80?

I think it’s just a small surface to take a peek on the attached relation between individual role and the importance of collectivity role. The great talent from persons like Trio Eddie-Dadang-Heri might not reach its greatness, if it wasn’t constructed in their early artistic process in Painting Department ISI Yogyakarta simultaneously. On the contrary, their greatness aroused because it was already being grind down, put to the test and verified in the closest and earliest community, their classmate. I believe, the creativity’s craziness at Class of ’80 would reveal another stars, beside Eddie-Dadang-Heri. The problem, I think, lies on the endurance of each person in maintaining their creative energy, and the precise method to find the same beat in history’s rhythm.

And now, after those long 27 years, they meet each other again at Gampingan, in a classroom full of craziness, certainly each of them had found their own historic creative rhythm. Maybe there are the ones, who still live their lives as artist consistently, without paying much attention toward their existence on fine art’s map. Maybe there are the ones who, now, live their lives as employee or businessman. All of them chose the way, though way back then it wasn’t the choice. Or, all of them were the choice, though way back then there wasn’t the way. The most important thing, for me, is what kind of contribution it can give to the world outside them?

It is not important to be the important person, but the important thing is feeling important to stick with person who was perceived as the unimportant one.

In the context of Indonesia Fine Art, these persons from this Class Of ’80 have greatly contributed in the development of recent fine art. That is the center of the problem!

Footnotes

1. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Kompas, 2003), page. 349. In other part of the book, Daniel Dhakidae thought of the wohole idea brought by Daoed Joesoef on campus normalization is merely understood through Foucaultian comprehension, to perceive the idea of suppression and terror which occurred in the university. Consider the theory of the panopticon by Michel Foucault on prison controlling system.

2. Jim Supangkat, Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia? in Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta, (Yogyakarta: Cemeti Art Foundation, 2000), page 16. As a reminder, Black December was a reaction towards the decision by jurors of the 1974, Grand Exhibition of Indonesian Painting which legalized their best works to A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam, and Abas Alibasjah.

3. The idea of performance by Eddie and Ellen was based on the essay “Hardship Art” in Art in America magazine. Both did the performance on the Experimental Art Week at FSR ISI Yogyakarta. They bound each other hands in chains and locked them. Keys to the locks were kept by their lecturer, Aming Prayitno. Eddie-Ellen then walked together to places (automatically) without any direct communication, except through the writings they made and agreed before. See notes by M. Dwi Marianto, Gelagat Yogyakarta Menjelang Milenium Ketiga, dalam Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta, (Yogyakarta: Cemeti Art Foundation, 2000), page 198-199.

4. Astri Wright, Soul, Spirit, and Mountain: Preoccupations of Indonesian Painters, (Oxford: Oxford University Press, 1994), page. 210.

5. In the New Order regime, persons such as Dadang Christanto who happen to be a Chinese-descendant minority have no strong bargaining position in politics.

Sabtu, 01 Desember 2007

Konstruktivisme dalam Pemikiran


Oleh Bagus Takwin

Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, saya teringat pada pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).

Kesamaan ini saya kira bukan suatu kebetulan. Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no. 9/11, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.

Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.

Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan konstruktivisme.

Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar

Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.

Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna (dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.

Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam masyarakatnya.

Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya: orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan memungkinkannya menyerap itu semua.

Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

Orisinalitas dan progresivitas. Itulah yang menurut saya warisan amat berharga dari Ki Hadjar. Kita perlu meneladaninya, mengusahakan diri menjadi orang yang mandiri, mampu berpikir kreatif untuk menghasilkan solusi orisinal, berorientasi ke depan dan ikut memberi kontribusi kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, lagi-lagi belajar dari Ki Hadjar, ketekunan dan kegigihan belajar serta kepedulian dan keterlibatan dalam persoalan Bangsa Indonesia perlu kita miliki. ***


Bagus Takwin, Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Daftar Pustaka

Dewantara, K.H. 2004. Karya K.H. Dewantara, bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Fosnot, C. 1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. NewYork: Teachers College.
Lorsbach, A. & K. Tobin. 1992. “Cosntructivism as a referent for Science Teaching”. NARST Research Matters — to the Science Teacher, No. 30.
Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: Cambridge University Press.
Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books.
Resnick, Lauren B., John M. Levine, & Stephanie D. Teasley. 1991. Perspectives on Socially Shared Cognition. Washington, DC: American Psychological Association.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.