Rabu, 03 September 2008

Kebebasan Berpikir dan Berekspresi

(Lukisan "Doa yang ke 29" karya Wilman Syahnur)

Oleh Bagus Takwin, dosen Psikologi Universitas Indonesia


Secara psikologis, pengendalian dan pengekangan yang terlalu kuat terhadap individu dalam sebuah masyarakat akan membawa individu-individunya kepada kemacetan dan kemunduran. Melemahnya daya produksi dan kreasi, melemahnya kehendak untuk memberi pengaruh terhadap dunia, serta rendahnya kemandirian individu menjadikan individu sebagai makhluk yang pasif, kehilangan daya gerak dan hasrat untuk berkembang. Individu-individu dalam masyarakat itu hanya menunggu untuk diarahkan dan digerakkan seperti robot, tak punya aspirasi dan ambisi untuk memajukan diri dan lingkungannya, kehilangan vitalitas dan spiritualitas yang merupakan daya penggerak peradaban dan kebudayaan.

Sejalan dengan pandangan banyak ahli psikologi, pengekangan dan pengendalian individu yang terlalu ketat lewat undang-undang dan peraturan negara yang mengurusi perilaku perorangan sampai ke ruang privat serta penyeragaman di ruang publik punya rekor buruk dalam peradaban manusia. Sejarah menunjukkan, kemajuan selalu disertai dengan kebebasan dan keleluasaan individu untuk berpikir dan mengekspresikan pikirannya. Contohnya, masyarakat Yunani Kuno yang dicirikan oleh kebebasan dan keluasaan bagi warganya untuk berpikir dan mengekspresikan diri melahirkan filsafat yang menjadi dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Sedangkan masyarakat Eropa di Abad Pertengahan yang sangat mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi individu menghasilkan masa-masa kegelapan, kemandegan dan dekadensi di segala bidang kehidupan. Di tempat lain, masyarakat Islam Abad Pertengahan yang memberi kesempatan kepada individu untuk berpikir dan berekspresi menunjukkan perkembangan masyarakat dan kemajuan peradaban pesat.

Kebebasan berpikir, kebebasan mengeksplorasi diri dan lingkungan, kebebasan memperoleh informasi, serta kebebasan berekspresi berperan penting dalam pembentukan diri dan perkembangan kepribadian yang kuat dan sehat. Sejak masa awal kehidupan ada kecenderungan pada manusia untuk mengeksplorasi diri dan lingkungannya. Tindakan-tindakan anak balita bukan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dalam rangka meredakan ketegangan, melainkan juga dalam rangka eksplorasi dan penguasaan lingkungan. Motif yang menggerakkannya bukan keinginan untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit, melainkan persepsi bahwa dunia merupakan tempat yang menarik. Rasa ingin tahu merupakan bawaan manusia sejak lahir yang didasari oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Dunia menarik dengan segala gerak-gerik dan warna-warninya. Dunia merangsang pikiran dengan segala misterinya. Dunia menggugah harapan dengan segala potensinya. Daya tarik gerak-gerik dan warna-warni dunia, misteri dan potensi yang dikandungnya berkesesuaian dengan struktur mental manusia yang mengandung motif-motif mengembangkan diri, memahami dan mengeksplorasi dunia, serta potensi-potensi dinamis yang menggeliat terus untuk diaktualisasi.

Pertemuan antara manusia individual dan dunia secara terus-menerus menghasilkan kualitas transendensi-diri, daya untuk terus-menerus melampaui diri dan melampaui apa yang ada kini dan di sini. Pertemuan manusia dan lingkungan, terutama lingkungan sosial, merupakan syarat niscaya bagi perkembangan diri setiap manusia. Lingkungan jadi menarik untuk dieksplorasi dan dikembangkan karena manusia melakukan proses pemaknaan dengan perasaan, kehendak dan pikirannya. Fasilitasi penggunaan tiga unsur mental manusia itu menghasilkan motivasi kuat untuk terus-menerus memahami dan mengembangkan dunia. Sebaliknya, penghambatan terhadap ketiganya memupuskan daya tarik dunia, memunculkan kebosanan dan kejenuhan menjalani hidup, menghentikan pemahaman dan pengembangan dunia.

Belajar dari Hubungan Ibu-Anak dan Perkembangan Kepribadian

Pembentukan diri dan pengembangan kepribadian selalu terjadi dalam interaksi sosial. Tak ada diri dan tak ada kepribadian tanpa interaksi dengan manusia lain. Dasarnya adalah hubungan ibu dan anak di masa-masa awal kehidupan anak. Hubungan ibu dan anak yang sehat di masa balita adalah hubungan yang ditandai oleh empati dan kehangatan antar ibu dan anak, serta kesempatan-kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan dan mengekspresikan diri. Ibu yang terlalu melindungi membuat anak tak punya kesempatan untuk belajar memenuhi kebutuhan dan mengembangkan diri. Ibu yang terlalu melepas dan tak mengacuhkan anak menjadikan anak merasa diabaikan dan suka mencari sensasi ekstrem. Ibu yang terlalu menuntut mempengaruhi anak untuk cenderung menarik diri dan takut tampil. Ibu yang mempermalukan anak menghambat anak untuk membentuk diri secara utuh.

Diri dan kepribadian yang terbentuk selalu unik, bukan hasil imitasi atau identifikasi terhadap orang lain. Individu selalu mencerna semua masukan dari pengalaman, memilah-milah dan menyusun ulang semua masukan itu untuk membentuk dan melengkapi diri. Pengembangan diri adalah pembentukan kepribadian; proses pembentukan diri yang utuh, otentik dan unik. Setiap masukan bagi diri merupakan bahan olahan untuk mengembangkan diri dalam rangka membentuk kepribadian. Kepribadian yang sehat dan matang tampil sebagai diri yang memiliki identitas berkelanjutan sekaligus terus-menerus berkembang lewat identifikasi dalam dunia bersama, terorganisasi, adaptif, terintegrasi dengan lingkungan sosial dan berpengaruh positif bagi kehidupan sosial. Kompleksitas dan keluasan kepribadian ditentukan oleh seberapa banyak masukan dan rujukan yang diperoleh dalam pengalaman.

Pembentukan dan perkembangan kepribadian yang kuat dan sehat ditandai oleh diferensiasi dan integrasi diri yang tinggi. Diferensiasi diri adalah kemampuan orang untuk melihat berbagai hal dan masalah dari beragam sudut pandang, mencakup juga kesiapan hidup dalam lingkungan sosial yang plural serta kesiapan untuk menghadapi perbedaan pendapat dan cara hidup di dalamnya. Sedang integrasi diri adalah kemampuan orang untuk mempertemukan berbagai sudut pandang dalam memahami gejala dan menyelesaikan masalah, termasuk juga kemampuan untuk membangun konsensus bersama dengan pihak-pihak yang memiliki pikiran dan cara hidup berbeda dengannya. Diferensiasi dan integrasi diri ditentukan oleh masukan dan keleluasaan ekspresi diri yang diperoleh individu. Diferensiasi dan integrasi diri yang optimal memungkinkan individu untuk secara aktif mengolah (menerima, memilah, menyaring dan memanfaatkan) masukan-masukan yang diterima oleh diri.

Pembatasan masukan dan pengekangan ekspresi mengurangi daya diferensiasi dan integrasi diri, dengan demikian melemahkan kemampuan aktif individu untuk mengolah masukan-masukan yang diterima oleh diri. Rendahnya daya diferensiasi dan integrasi diri mempersempit pemahaman terhadap berbagai gejala sehingga memperkecil kemungkinan-kemungkinan pemaknaan beragam yang dapat dilakukan individu. Pemahaman yang sempit dan kecilnya kemungkinan pemaknaan beragam terhadap gejala menutup kemungkinan ditampilkannya ide-ide baru dan tindakan-tindakan kreatif. Hal ini dapat menghasilkan macetnya perkembangan diri individu dan peradaban manusia secara umum. Keterbukaan pikiran dan keleluasaan ekspresi memfasilitasi perkembangan peradaban manusia; sebaliknya ketertutupan pikiran dan kekangan terhadap ekspresi menghambat perkembangan peradaban manusia.

Kita bisa mengambil pelajaran dari pembentukan diri dan perkembangan kepribadian manusia. Pengekangan dan pengendalian individu dalam suatu masyarakat bisa mengarahkan kepada terhambatnya kemandirian individu-individu di dalamnya, juga hilangnya daya produktif dan kreatif mereka sehingga mereka tak dapat diharapkan bisa memberi kontribusi berarti bagi perkembangan masyarakat. Alih-alih berkembang, masyarakat dengan individu yang dependen dan pasif malah mengalami kemacetan dan kemunduran seperti yang terjadi di Eropa pada Abad Pertengahan. Di sisi lain, analog dengan ibu yang melepas begitu saja anaknya, masyarakat yang terlalu membebaskan individu anggotanya berpotensi menghasilkan individu-individu yang senang dengan sensasi ekstrem, tak terkontrol dan mengabaikan ikatan sosial yang menjaga keberlangsungan integrasi sosial. Masyarakat yang terlalu menuntut warganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri, menyelesaikan semua masalahnya sendiri tanpa aturan yang jelas, cenderung membawa masyarakat itu menjadi terkotak-kotak, saling berebut kuasa, mengalami segregasi sosial, bahkan anarkis. Masyarakat yang tidak memiliki kebanggaan dan model teladan serta punya borok-borok masa lalu yang tak tersembuhkan juga berpotensi untuk mengalami segregasi sosial dengan identitas yang tidak jelas.

Belajar dari hubungan ibu-anak dan pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak, hubungan antara negara dengan rakyatnya semestinya adalah hubungan kehangatan yang meleluasakan pikiran dan ekspresi individu disertai empati yang tinggi dari negara terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat. Keleluasaan itu perlu disertai juga dengan perlindungan dan bantuan memadai bagi individu yang kurang beruntung atau terancam kesejahteraannya oleh berbagai perlakuan tidak adil dari berbagai pihak. Alih-alih menjadi pengekang dan pengendali yang ketat bagi rakyatnya, negara selayaknya berperan sebagai pengasuh yang memberi jaminan kesejahteraan serta keleluasaan seluas mungkin bagi rakyatnya untuk berpikir dan berekspresi dalam rangka mengembangkan diri dan negara.

Membekali Individu dengan Ketahanan Diri dan Kekuatan Karakter

Daripada memproteksi dan mengisolasi individu dari dunia, jauh lebih berguna membekali individu dengan kemampuan mengolah informasi dan menjaga diri dari pengaruh negatif. Menghindarkan individu dari semua hal negatif dan berbahaya yang ada di dunia tidak mungkin dilakukan. Seorang ibu tidak mungkin membentuk diri dan mengembangkan kepribadian anaknya dengan mengisolasi si anak dari dunia. Begitu pula, negara tidak mungkin mengembangkan rakyatnya dengan mengisolasi mereka dari berbagai hal buruk yang ada di dunia. Pengisolasian berarti pengasingan dan penghentian perkembangan kepribadian yang mempersempit dan mengerdilkan diri. Dunia yang bergerak cepat dan kompleks tak terhindarkan oleh setiap orang. Mengatasi masalah akibat pergerakan dan kompleksitas dunia yang tinggi bukan dengan isolasi dan pengasingan, melainkan dengan membentuk kemampuan diri memilah dan mengolah informasi, mengatasi sendiri pengaruh negatif yang mengepungnya, menghadapi berbagai hal yang terjadi sambil tetap menegaskan diri secara produktif dan kreatif tanpa kehilangan harmoni dan kepekaan sosial. Pembentukan ketahanan dan kemampuan diri untuk menghadapi berbagai persoalan yang datangnya tak menentu jauh lebih bermanfaat ketimbang melindungi individu dengan proteksi dan isolasi dari dunia.

Ketahanan dan kemampuan diri mencakup aspek kognitif, afektif dan konatif diperlukan untuk menghadapi dunia yang terus bergerak pesat dengan kompleksitas yang tinggi. Apa yang terjadi di dunia tak dapat dihindari semuanya tetapi dapat dihadapi dan ditangani individu secara memadai jika ia memiliki bekal kepribadian yang memadai. Selain itu, kekuatan karakter juga perlu dikembangkan. Seligman (2002) dalam bukunya Authentic Happiness memaparkan apa saja keutamaan dan kekuatan manusia, lalu di tahun 2004 bersama Peterson, ia perinci dalam buku setebal 800 halaman berjudul Character Strengths and Virtues; A Handbook and Classification. Ada enam kelompok keutamaan dan kekuatan manusia: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan; (2) kesatriaan (courage); (3) kemanusiaan dan cinta; (4) keadilan; (4) pengelolaaan diri (temperance); serta (6) transendensi.

Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri dari enam kekuatan, yaitu (1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (2) mencintai pembelajaran, (3) berpikir kritis dan keterbukaan, (4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, (5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan (6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan mensinergikannya untuk pencapaian hidup yang baik.

Kesatriaan merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu (1) keberanian, (2) ketabahan atau kegigihan, dan (3) integritas, jujur dan menampilkan diri apa adanya.

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatan-kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah (1) kebaikan dan kemurahan hati; selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan (2) mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai.

Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup dalam di sini: (1) kewarganegaraan atau mampu mengemban tugas, berdedikasi dan setia demi keberhasilan bersama, (2) fairness dan kesetaraan; memperlakukan orang lain secara setara atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan pada setiap orang; serta (3) kepemimpinan.

Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pengendalian-diri atau kemampuan menahan diri; (2) kehati-hatian; dan (3) kerendahan hati.
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna pada kehidupan. Dalam keutamaan ini ada (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) rasa syukur atas segala hal baik; penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan; (3) spiritualitas; memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; (4) pemaaf dan pengampun; (5) menikmati hidup dan punya selera humor yang memadai; serta (6) memiliki semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari.

Pembekalan ketahanan dan kemampuan diri serta kekuatan karakter sejak dini dapat dilakukan melalui pendidikan berbasis berpikir kritis, etika berbasis kepedulian dan keakraban, pembinaan spiritualitas yang mementingkan keterbukaan diri dan harmoni, serta pembiasaan dialog dengan beragam pihak. Pembiasaan sejak kecil lebih efektif daripada pengubahan di masa dewasa. Memang butuh waktu yang panjang untuk melakukan perbaikan bangsa dan negara Indonesia melalui pembiasaan dan pembinaan karakter sejak dini. Namun, perbaikan bangsa memang makan waktu dan tidak hanya diperuntukkan bagi hari ini. Masa depan sangat penting untuk dipertimbangkan dan dipersiapkan sejak kini. Secara psikologis, jauh lebih penting mempersiapkan pembekalan bagi masa depan daripada perubahan kepribadian di masa kini. Orientasi ke depan juga merupakan salah satu ciri manusia dan masyarakat yang sehat.

Mengembangkan Strategi Promotif

Strategi yang perlu dikembangkan di Indonesia dengan mempertimbangkan proses demokratisasi adalah strategi promotif yaitu memasukan hal-hal yang dianggap baik ke dalam ruang publik dan mempromosikannya. Strategi promotif dipertentangkan dengan strategi preventif yang mengutamakan usaha-usaha menghambat hal-hal yang dianggap tidak baik. Strategi preventif akan mengembalikan ruang publik ke tangan-tangan otoriter, bahkan merebut ruang-ruang privat dari individu dan menyeragamkan setiap orang dengan dasar kepatuhan. Indonesia sudah pernah mengalami kondisi dikuasainya rakyat oleh negara secara otoriter-totaliter dan itu adalah pengalaman pahit. Belajar dari pengalaman, sudah selayaknya kita hindari strategi preventif.

Strategi promotif untuk memfasilitasi terjadinya hal-hal produktif dan kreatif jauh lebih efektif daripada strategi preventif untuk melarang orang melakukan tindakan-tindakan negatif demi mencegah terjadinya hal-hal negatif. Promosi berbagai hal yang dianggap baik di ruang publik secara psikologis akan menghasilkan keragaman alternatif bagi rakyat, terutama anak dan remaja dalam pembentukan produktivitas, kreativitas dan identitas unik mereka. Keragaman pilihan model dan dialektika berbagai pandangan juga akan menunjang pertumbuhan karakter demokratis serta pembentukan atmosfer demokrasi. Menampilkan beragam acara yang menggambarkan apresiasi terhadap susah-payahnya proses menjadi sukses, penayangan beragam pilihan profesi, beragam karya, dan diskusi-diskusi yang mempertemukan beragam sudut pandang merupakan contoh-contoh dari kegiatan yang didasari oleh strategi promotif. Pada prinsipnya, strategi promotif merupakan strategi untuk mengoptimalkan keragaman alternatif pilihan produksi, kreasi, dan identitas dalam ruang publik.

Strategi promotif sejalan dengan proses perkembangan kepribadian yang sehat. Dengan strategi ptromotif, masyarakat mempertemukan individu dengan banyak alternatif hal-hal positif yang bisa menjadi masukan baginya untuk melakukan identifikasi di dalam dunia bersama. Masukan yang positif dan konstruktif itu memberikan perbendaharaan bahan yang kaya bagi pengembangan dan perluasan kepribadian yang kemudian dapat menggugahnya menampilkan tindakan-tindakan produktif dan kreatif. Perluasan kepribadian juga meningkatkan keterbukaan diri terhadap dunia, meningkatkan derajat diferensiasi dan integrasi diri, meleluasakan manusia untuk terus menerus melampaui diri dan dunia. Perluasan kepribadian dengan tindakan-tindakan produktif dan kreatif sekaligus merupakan pengembangan masyarakat, pengembangan peradaban dan kebudayaan manusia.***

Tidak ada komentar: