Selasa, 28 Agustus 2007

GERBANG: Literasi dan ‘Loncatan’ Budaya


Salam.

Ketika majalah Pusara ini hendak terbit kembali untuk edisi kali ini (sejak kepengurusan Majelis Luhur Tamansiswa periode 2007 terbentuk), muncul perdebatan di kalangan redaksi. Masalah yang diperdebatan adalah nama majalah ini yang dirasakan "mengganggu". Kata Pusara dalam bahasa Indonesia berarti nisan. Analoginya, makna itu membawa pengertian pada atmosfir "kematian". Namun, setelah dianalisis dan dicari sumber makna yang lain, ternyata kata "pusara" (yang dibaca dalam lafal Jawa: pusoro) diambil oleh Ki Hadjar Dewantara dari kosa kata bahasa Jawa, yang artinya "tali pusat". Sebuah makna yang dalam dan tinggi juga, ternyata. Maka, nama Pusara pun dipertahankan sebagai nama dan ciri penanda majalah ini.
Nama merupakan doa sekaligus harapan. Karena itu, dalam konteks ini, ucapan pujangga Inggris William Shakespeare, "apalah artinya sebuah nama", menjadi tidak relevan. Dengan makna Pusara sebagai "tali pusat", majalah ini memiliki orientasi nilai sebagai media yang mencoba menganyam berbagai nilai, gagasan dan informasi seputar ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan yang bermakna bagi publik pembaca.
Dengan orientasi itu, di manakah posisi majalah ini dalam konstelasi kebudayaan? Kebudayaan mencakup tiga hal utama: (1) budaya nilai/wacana, (2) budaya ekspresi dan (3) budaya produk (hasil-hasil fisik kebudayaan manusia).

Budaya nilai atau wacana berwujud segala hal yang berupa konsep, pemikiran dan nilai-nilai yang bersifat abstrak yang mampu menggerakkan kesadaran manusia untuk berubah dan menemukan berbagai kemungkinan lain atau baru (baca: ide menggerakkan daya cipta). Ide merupakan kunci pembuka ruang realitas. Dengan ide, ruang realitas tidak lagi gelap. Dalam konteks ini, Pusara mencoba merepresentasikan diri sebagai media yang memproduksi atau mereproduksi berbagai pemikiran bagi publik pembaca. Diharapkan muncul proses literasi (melek, terbuka wawasan) dalam diri publik pembaca guna memahami dan memaknai berbagai realitas sosial maupun realitas budaya yang terus hidup dan tumbuh. Melalui proses membaca, kita harapkan ide-ide bermakna itu bisa menemukan relevansinya.
Hegemoni Televisi
Sebagai media penyadaran lewat ide-ide budaya (ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan), Pusara kini menghadapi banyak persoalan, antara lain adalah dominasi dan hegemoni televisi dalam ranah publlik kita. Televisi telah menjadi "berhala" bagi masyarakat modern. Ia hadir penuh keajaiban sebagai pusat hiburan, pusat simbol kekayaan dan segala impian serta pusat identivikasi diri bagi penontonnya. Kita bisa melihat kasus kecil di bawah ini.
Seorang tokoh Ibu tidak bisa memberikan uang yang diminta anak lelakinya. Sang anak ingin memiliki sepeda motor baru agar keberadaannya bisa diterima oleh kelompoknya dari kalangan orang kaya. Karena kecewa, sang anak mendorong ibunya hingga jatuh, disertai kata-kata kasar yang sangat menyakitkan.
Potongan adegan di atas muncul dalam salah satu sinetron remaja yang ditayangkan sebuah stasiun teve swasta. Karena menggeber kehidupan glamour dan mimpi-mimpi serta dengan bintang-bintang yang cakep, sinetron ini disukai banyak remaja. Mungkin, sinetron ini cukup menghibur, namun diam-diam, menggelisahkan banyak orang, khususnya para orang tua. Kegelisahan itu terkait dengan adegan-adegan yang penuh kekerasan (fisik, psikologis) yang sangat potensial memperngaruhi perilaku remaja kita.

Pada level ideal, televisi merupakan temuan cerdas yang mampu mendorong perkembangan peradaban; antara lain ikut membentuk masyarakat yang well-educated atau well-informed. Lewat televisi, dinamika kebudayaan suatu masyarakat terekam dan terosialisasi ke publik, dan membentuk kesadaran (pengetahuan) baru. Di sini, berbagai tayangan televisi yang berkualitas mampu memberikan inspirasi kepada publik penonton, baik berupa informasi (news), pengetahuan (features, discovery, talk show, film dokumenter dan lainnya) maupun hiburan (film-film atau sinetron). Televisi memiliki kekuatan pencitraan untuk membangun realitas sosial sekaligus mempengaruhi perilaku publik penikmatnya.
Dalam ungkapan yang lain, televisi mampu memberikan pengaruh, setidaknya dalam dua hal: (1) pemikiran dan (2) ekspresi atau perilaku.
Pertama, pengaruh bagi pemikiran publik, artinya televisi sebagai media yang mereproduksi ide sosial dan ide estetik ikut membentuk gagasan bahkan menginternalisasikan nilai-nilai dalam benak publik. Setiap ide yang menarik, selalu memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan membentuk cara berpikir. Ide yang memiliki makna akan memperkaya cara pandang dan cara berpikir orang terhadap kenyataan. Begitu pula dengan ide-ide yang buruk, akan menimbulkan cara berpikir yang negatif juga bagi orang. Ini antara lain sering muncul dalam berbagai tayangan yang mengumbar ide-ide kekerasan.
Kedua, pengaruh bagi ekspresi atau perilaku publik, artinya setiap ide yang direproduksi oleh televisi akan berdampak bagi cara orang mengakatualisasikan diri, bertindak dan berperilaku. Masyarakat yang gemar mencontoh apa yang dilihat dalam tayangan televisi, cenderung terdorong untuk mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang ada dalam realitas yang dihadirkan lewat televisi. Konkretnya, jika televisi selama ini hanya menggeber hedonisme atau konsumerisme, maka wajar jika masyarakat penonton pun cenderung menjadi hedonis (memuja kenikmatan) dan menjadi konsumtif (mabuk barang-barang konsumsi).
Loncatan budaya
Bagaimana sesungguhnya keberadaan televisi di Indonesia? Apakah kehadirannya sesuai dengan tingkat perkembangan budaya masyarakat atau justru sebaliknya?
Kita mengenal ada tiga fase budaya: (1) fase budaya lisan, (2) budaya tulis, dan (3) budaya audio-visual. Budaya lisan adalah tradisi berperilaku, berekspresi dan berkomunikasi yang berbasis bahasa lisan (tradisi bertutur). Ini kita temui dalam masyarakat tradisional yang cenderung mendokumentasi berbagai hasil-hasil kebudayaannya (kearifan lokal/local wisdom) dalam laci ingatan.
Budaya tulis bisa dipahami sebagai tradisi beraktualisasi (berpikir, berekspresi dan mencipta karya) yang bertumpu pada basis budaya tulisan. Dengan tulisan, orang merumuskan berbagai konsep tentang pengetahuan, sistem kepercayaan, temuan-temuan ilmiah, ekspresi seni, dan lainnya), sehingga semuanya bisa dilacak lan dipelajari kembali. Dengan cara itu, ada kesinambungan sejarah secara tekstual.
Sedangkan budaya audio-visual merupakan tradisi kehidupan yang berbasis pada sistem pencitraan (visualitas) dan sistem pendengaran (auditif). Media audio-visual, seperti televisi, adalah media yang aktif: ia datang kepada publik untuk mewartakan dan menyampaikan berbagai peristiwa dan ide estetik maupun ide sosial kepada publik penonton.
Di negara-negara maju, televisi muncul setelah masyarakatnya mampu melampau dua budaya sebelumnya (lisan dan tulis). Dengan demikian, segala tema dan content yang disampaikan melalui media dengar dan pandang itu berangkat dari kematangan penguasaan atas budaya tulis atau budaya konsep. Sekadar contoh, dalam membuat film, mereka memiliki penguasaan yang baik dalam membuat cerita dan menyusun skenario. Realitas yang dihadirkan pun bukan realitas yang mengada-ada, melainkan hasil dari riset pustaka dan riset sosial. Sehingga karya yang mereka ciptakan make-sense alias masuk akal. Ini ditunjang kemampuan mereka secara sinematrografis.
Booming televisi yang terjadi di negara kita seperti ledakan yang muncul begitu saja dan membuat publik terguncang. Kemunculan industri televisi kita bisa disebut sebagai loncatan budaya, karena sesungguhnya masyarakat kita belum tuntas di dalam budaya tulis. Masyarakat kita masih didominasi budaya lisan.
Apa yang terjadi? Televisi menjadi media ‘ajaib’ yang memukau masyarakat, dipuja secara berlebihan dan dijadikan alat bagi para pelaku industri untuk meraih keuntungan. Namun, hal itu tidak diimbangi penguasaan pengeloaan media. Tidak matangnya konsep, menjadi salah satu penyebab. Sehingga hampir semua orang atas dukungan fasilitas teknis, bisa membuat sinetron misalnya. Tanpa didukung penulisan cerita dan skenario yang baik. Tak ada atau minim riset sosial dan pustaka kecuali mengandalkan intuisi atau ingatan atas berbagai pengalaman. Hasilnya adalah sinetron-sinetron yang ‘asal-asalan’: sekadar menggeber kehidupan glamour/mimpi-mimpi yang justru menjauhkan masyarakat dari realitas. Mereka mengadirkan berbagai peristiwa dramatik yang tidak memiliki alasan psikologis dan sosial, misalnya adegan seperti sinteron yang saya kutip di awal tulisan ini. Benarkah perilaku masyarakat kita sudah sejauh perilaku anak yang sangat tidak sopan terhadap ibunya? Ketika adegan ini diciptakan tanpa alasan yang mendasar, kita pun bisa menilai sang sutradara sekadar mengada-ada.
Karena tidak matangnya konsep, visi dan misi dalam mengelola industri televisi, para pelaku industri televisi kita -–khususnya dalam sinetron—cenderung menjadi epigon atau bahkan penjiplak sinetron dari negara asing. Bukan rahasia lagi banyak sinteron kita adalah jiplakan dari film-film India, Korea atau Taiwan. Tapi karena kadar ‘muka tebal’ kita sudah cukup tinggi, tindakan itu dianggap sah-sah saja. Bahkan sementara pelaku televisi menganggap bahwa dalam industri tindakan ‘menjiplak wajib hukumnya’. Mereka mendadak sengaja khilaf tentang hak cipta.
Pelaku-pelaku industri televisi pun sering abai terhadap pengaruh negatif atas berbagai produk yang mereka hasilkan. Dalam sinteron remaja misalnya. Banyak adegan yang sekadar mengumbar kekerasan fisik atau kekerasan psikologis dalam konflik dramatik yang dangkal, misalnya dua remaja putri rebutan cowok. Atau dua remaja cowok rebutan cewek. Seolah dunia remaja kita hanya soal pacaran. Mereka gagal menghadirkan cerita yang logis dan sosiologis serta karakter tokoh yang kuat. Sehingga semua adegan seolah ahistoris alias tanpa sejarah/argumen psikologis dan sosiologis kuat. Hasilnya, adalah pengasingan masyarakat atas realitas. Padahal idealnya, sinetron harus mampu membikin penonton bertambah cerdas dan punya kaya di dalam memandang kehidupan.
Jangan salahkan para remaja kita jika mereka banyak yang kurang menunjung sopan santun terhadap orang lain, karena mereka dididik oleh sinetron kita untuk melabrak etika dan moralitas, seperti adegan anak yang mencelakan ibunya dalam potongan adegan yang mengawali tulisan ini.
Saatnya pelaku industri televisi melakukan "pertobatan secara kultural", sebelum "dosa-dosa kultural" mereka makin menumpuk. Caranya adalah dengan memproduksi tayangan-tayangan yang cerdas dan inspiring bagi publik penonton.
Negara Absen
Keberadaan industri televisi di Indonesia bukan didorong oleh berbagai pertimbangan kultural, melainkan oleh pertimbangan dagang dari para pemodal dan penguasa Orde Baru. Keduanya melakukan semacam kolusi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari iklan. Inilah celakanya, jika kebudayaan sebuah nagara tidak ditentukan oleh para cendekiawan, negarawan dan budayawan, melainkan oleh pedagang dan penguasa yang hanya berfikir keuntungan finansial. Dalam loncatan budaya yang tidak normal itu (dari budaya lisan langsung ke budaya visual) industri televisi telah mengorbankan budaya tulis dan baca masyarakat. Terjadilah apa yang disebut sebagai "gegar budaya": satu kondisi yang serba tidak teratur, tidak normal baik dalam cara berfikir maupun dalam cara berekspresi/berperilaku). Yang muncul adalah masyarakat yang bermental mentah, berpifikir dangkal, dan bercita-rasa rendah. Masyarakat semacam ini menghasilkan karya yang umumnya juga dangkal. Dan kita pun gelisah, negara cenderung absen dalam kondisi ini. Budaya massa, budaya pop yang dekaden dipacu kuat-kuat para pemodal besar, sementara negara lebih banyak diam, bahkan besikap enjoy aja. Belum tampak strategi politik kebudayaan negara dalam melindungi masyarakat dari terjangan dan serbuan kebudayaan massa yang mendangkalkan jiwa itu. Juga belum tampak secara mencolok, proteksi negara atas berbagai budaya lokal, atau berbagai temuan nilai, ekspresi dan produk budaya dari para genius lokal kita. Sekali lagi, negara abai.

Mengembalikan budaya tulis dan baca merupakan cara yang tidak pernah terlambat untuk "menyelamatkan" masyarakat. Untuk itulah, Pusara mencoba mengambil peran, meskipun mungkin sangat kecil. Selamat membaca. Salam.
Indra Tranggono

2 komentar:

Bambang Setiawan mengatakan...

selamat malam..PUSARA..
sejenak membaca isimu pada sebuah situsmu...terasa kelaparanku...terobati...inilah hidangan yang lama aku cari..namun masih kurang bumbu..sehingga...PUSARA perlu menambah bumbu... terutama yang sesuai dengan nama PUSARA...
saya kira hidangan ini akan disantap dengan lezat oleh kalangan pendidikan 'jika' diberi bumbu yang lebih terasa..terutama adanya bedah kasus..

PUSARA apakah boleh saya mengirim kan tulisan...kepadamu???

sekian dan terima kasih
semoga PUSARA menjadi majalah yang aspiratif dalam pendidikan

pengirim: Bambang Setiawan
d/a' SMP/SMA/SMK Jambi Selatan Jambi

Unknown mengatakan...

Terima kasih atas respons anda. Silakan Anda kirim tulisan Anda ke e-mail kami, majalah.pusara@gmail.com. Salam